Penulis Israel, Michael Milstein, melontarkan kritik keras terhadap apa yang ia sebut sebagai “fantasi berulang” Israel di Gaza. Dalam tulisannya di situs Ynet milik Yedioth Ahronoth, Milstein memperingatkan bahwa Gaza telah berubah menjadi laboratorium percobaan bagi mimpi-mimpi keamanan dan politik Tel Aviv yang gagal—diulang tanpa henti, tanpa evaluasi jujur atau keberanian belajar dari kegagalan masa lalu.
Ia menilai rencana pembangunan “kota kemanusiaan” antara Khan Younis dan Rafah hanyalah reinkarnasi dari proyek-proyek gagal sebelumnya. Sama halnya dengan upaya mempersenjatai kelompok lokal untuk melawan Hamas atau menciptakan kantong-kantong “aman” di dalam Gaza. Semua skenario ini, menurutnya, lahir dari ilusi bahwa kesadaran rakyat Palestina bisa diubah dengan kekerasan dan tekanan ekonomi.
Milstein menegaskan, kegagalan pendekatan ini sudah berkali-kali terbukti. Contohnya, “Rencana Para Jenderal” yang diluncurkan menjelang gencatan senjata di Gaza utara, ambruk hanya dalam waktu singkat meski diiringi gempuran militer masif.
Ia pun mengingatkan bahwa pola pikir keliru inilah yang turut memunculkan “bencana 7 Oktober”, saat Israel percaya bisa menaklukkan ideologi dengan sekadar roti dan logistik.
Lebih jauh, Milstein mengkritik keras kegagalan elite politik Israel dalam menarik pelajaran dari kesalahan historis, seperti dukungan untuk “Ikatan Desa” di Tepi Barat atau koalisi gagal di Lebanon. Menurutnya, meniru model Amerika yang mengandalkan kekuatan senjata dan uang untuk mengubah realitas—seperti di Irak dan Afghanistan—sudah terbukti runtuh, dan kini justru kembali diterapkan di Gaza.
Ia juga menyoroti kontradiksi di tubuh Israel sendiri: satu pihak mendorong kompromi parsial, sementara pihak lain menuntut pendudukan penuh Gaza demi ambisi ideologis yang jauh dari akal sehat keamanan, hingga memperdalam kebuntuan strategis.
Di akhir tulisannya, Milstein melemparkan sederet pertanyaan tajam yang jarang muncul di ruang publik Israel: Di mana sebenarnya batas wilayah Israel? Bagaimana seharusnya relasi dengan rakyat Palestina? Dan berapa harga moral dan politik yang harus dibayar untuk terus menguasai dan menindas jutaan orang yang terkepung?
Sumber: Media Israel, Yedioth Ahronoth