Militer Israel mengakui tiga tentaranya tewas dan seorang perwira luka parah akibat serangan jebakan pejuang Palestina di utara Jalur Gaza, Senin (14/7).
Radio militer Israel melaporkan, seluruh korban berasal dari Brigade 401, yang sedang berada dalam tank di Jabalia. Sebelumnya, media Israel mengumumkan tiga tentara tewas dan tiga lainnya luka berat dalam empat operasi perlawanan di Gaza — yang secara bersamaan menghantam Jabalia, Khan Younis, serta kawasan Tuffah dan Shujaiya.
Menurut siaran resmi Israel, serangan di Jabalia terjadi siang hari, ketika ledakan besar mengguncang tank Merkava yang mengakibatkan kebakaran hebat. Para tentara terperangkap di dalamnya sebelum api berhasil dipadamkan.
Sejak Israel melanjutkan agresinya pada Maret lalu, total 43 tentaranya tewas. Jika dihitung sejak serangan ke Gaza pada Oktober 2023, angka kematian tentara Israel sudah mencapai 893.
Netanyahu Berduka, Oposisi Menggugat
Dalam komentarnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan perang — menyebut ini sebagai “malam yang sulit”, seraya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga para tentara.
Namun, pemimpin oposisi Yair Golan justru menuduh Netanyahu menjadikan para prajurit sebagai “korban perang politik yang tak berujung”, hanya demi memperpanjang kekuasaannya.
Channel 12 Israel menyoroti ironi Netanyahu: di satu sisi ia meratapi tentara tewas, di sisi lain dia mendorong undang-undang yang membebaskan kelompok ultra-Ortodoks dari wajib militer demi kepentingan politik.
Perlawanan Terus Luncurkan Roket
Di tengah agresi brutal, pejuang Palestina masih mampu meluncurkan roket. Senin, Israel mengklaim berhasil mencegat dua roket dari Gaza, sementara satu lainnya jatuh di wilayah permukiman Be’eri.
Sebelumnya, Brigade Al-Qassam menembakkan roket “Rajoum” kaliber 114 mm ke permukiman Nirim dan Ein HaShlosha. Meskipun jumlah roket terbatas, pesannya jelas: “Tak akan ada keamanan di permukiman penjajah selama Gaza tak memperoleh keadilan.”
Analis militer Kolonel Hatim al-Falahi menekankan, roket-roket ini punya makna politik mendalam — sebagai peringatan bahwa keamanan hanya bisa lahir lewat kesepakatan politik yang adil, bukan dominasi militer.