Serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki meningkat tajam hingga 30% sejak awal 2025. Di saat yang sama, serbuan rutin ke Masjid Al-Aqsha terus berlangsung di Al-Quds yang diduduki. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius: apa sebenarnya tujuan Israel?

Radio militer Israel melaporkan bahwa sepanjang tahun berjalan, telah tercatat 414 serangan terhadap warga Palestina, mulai dari pembakaran rumah, coretan-coretan rasis, hingga bentrokan fisik. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah peningkatan dalam skala dan intensitas kekerasan.

Analis urusan Israel, Iyhab Jabarin, menegaskan bahwa proyek permukiman ini bukan sekadar perluasan, melainkan strategi terstruktur untuk menganeksasi seluruh wilayah Tepi Barat dan memberlakukan kedaulatan penuh di atasnya, tanpa mengindahkan hukum internasional.

Menurut Jabarin dalam wawancaranya dengan program Behind the News, titik balik dari ekspansi permukiman dimulai sejak penarikan Israel dari Gaza pada 2005. Awalnya gerakan ini bersifat populis, tapi kemudian menyusup ke pusat pengambilan keputusan politik Israel.

Ia menjelaskan bahwa periode 2005–2015 adalah fase “balas dendam” atas kehilangan Gaza, dengan target memperkuat cengkeraman di Tepi Barat. Sedangkan 2015–2020 adalah fase di mana gerakan pemukim berhasil menancapkan pengaruh di lingkar kekuasaan Israel.

Tahun 2020 hingga sekarang menjadi fase paling berbahaya, karena tokoh ekstremis seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir kini menjabat sebagai menteri keamanan nasional dan menteri urusan permukiman, dalam pemerintahan yang disebutnya sebagai “paling fasis dalam sejarah Israel.”

“Pertempuran Eksistensial” di Tepi Barat

Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina, Hasan Khreisha, menyebut apa yang terjadi di Tepi Barat sebagai pertempuran eksistensial. Ia mengungkap bahwa operasi militer Israel dijalankan oleh ruang komando gabungan antara tentara, intelijen, pemukim, dan otoritas sipil Israel.

Menurutnya, wilayah utara Tepi Barat mengalami penghancuran sistematis, terutama kamp-kamp pengungsi, sementara wilayah Lembah Yordan terus menghadapi perluasan permukiman dan pengusiran paksa. Semua ini, kata Khreisha, “disiapkan untuk satu tujuan: melenyapkan eksistensi rakyat Palestina dan mencaplok seluruh Tepi Barat.”

Khreisha menambahkan bahwa Israel sadar Tepi Barat adalah medan tempur utama, apalagi setelah mendapat dukungan penuh dari mantan Presiden AS Donald Trump. Karena itu, operasi penyerbuan dilakukan serentak di Yerusalem, Lembah Yordan, dan seluruh penjuru Tepi Barat.

Ia meyakini kondisi ini akan memicu Intifada besar-besaran, sebab rakyat Palestina tidak akan selamanya menanggung pembunuhan, pengusiran, dan kekerasan harian dari pemukim. Bahkan otoritas Palestina pun, meski lemah, kini sadar bahwa pertarungan ini bukan lagi soal politik — ini adalah soal bertahan hidup.

Eropa Tak Berdaya Hadapi Agresi Israel

Uni Eropa dalam pertemuan puncaknya di Brussel baru-baru ini mengecam eskalasi di Tepi Barat dan menyerukan penghentian segera oleh Israel.

Pengamat politik dari Universitas Sorbonne Prancis, Prof. Muhammad Henid, menyebut bahwa tekanan publik dan akademik di Eropa mulai menggeliat, apalagi setelah kesadaran generasi muda bahwa narasi korban Yahudi dalam Holocaust tak bisa lagi digunakan untuk membenarkan kekejaman terhadap Palestina.

Namun Henid menegaskan, posisi Eropa masih berada di bawah bayang-bayang kebijakan Amerika Serikat, sehingga tidak punya kemandirian sikap dalam isu Palestina.

Henid juga menyampaikan kekhawatiran bahwa kebangkitan sayap kanan di Eropa — yang berpotensi bersekutu dengan Israel — dapat memaksa para penguasa Eropa mengambil langkah cepat demi menyelamatkan legitimasi politik mereka sendiri.

Di sisi lain, Khreisha menilai bahwa sikap Uni Eropa selama ini selalu berada di tengah-tengah — bahkan sanksi terhadap pemukim pernah diajukan namun akhirnya dibatalkan oleh tekanan Amerika.

Jabarin menyimpulkan bahwa Israel menyadari adanya tekanan internasional, namun strategi mereka adalah membungkam perhatian dunia lewat pengalihan isu dan manipulasi diplomasi.

Sementara itu, Shin Bet Israel baru-baru ini mengklaim telah menangkap 60 aktivis Hamas di Hebron, yang dituduh tengah merencanakan serangan besar. Namun, pimpinan Hamas Mahmoud Mardawi menegaskan bahwa perlawanan akan terus berlanjut dan tetap menjadi satu-satunya pilihan rakyat Palestina untuk mengusir pendudukan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here