Ribuan perempuan Prancis turun ke jalan dalam sebuah aksi damai untuk mengecam genosida terhadap rakyat Palestina dan penderitaan anak-anak Gaza yang terus berlangsung di bawah hujan bom penjajah Israel. Aksi ini digagas oleh kelompok “Para Ibu untuk Anak-anak Palestina”, sebuah inisiatif solidaritas yang terus menguat di tengah keheningan pemerintah.
Semula aksi ini direncanakan digelar tepat di depan Istana Élysée, kediaman resmi Presiden Emmanuel Macron. Namun, polisi Paris melarangnya. Para penyelenggara pun memindahkan titik kumpul ke Lapangan Les Invalides, tak jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri Prancis, demi memastikan pesan mereka tetap sampai.
Aksi tersebut menyuarakan duka sekaligus kemarahan. Sejak awal perang, lebih dari 15 ribu anak Palestina telah dibunuh, dan 20 ribu lainnya menjadi yatim piatu, hidup dalam derita dan trauma di bawah gemuruh pesawat tempur dan puing-puing rumah mereka yang runtuh.
Hitam dan Putih: Warna Duka dan Amarah
Gerakan ini beranggotakan ribuan perempuan dari berbagai penjuru Prancis yang mengambil tanggung jawab moral untuk menjadi suara bagi anak-anak Gaza, dan mengetuk nurani dunia atas horor yang terus terjadi di wilayah terkepung itu.
“Kami, para ibu di Prancis, marah melihat genosida yang terjadi di Gaza dan disaksikan dunia tanpa tindakan nyata. Presiden Macron hanya bicara soal ‘rasa malu’, tapi tak ada sanksi dijatuhkan kepada Israel,” ungkap Fatima Haris, salah satu penyelenggara yang juga tergabung dalam asosiasi Urgence Palestine, kepada Al Jazeera Net.
Fatima mengisahkan bahwa sejak awal mereka berniat menggelar aksi simbolik di depan Élysée demi menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada Presiden. Namun, setelah dilarang, mereka tetap melangkah ke Les Invalides sambil membawa petisi berisi lebih dari 4.000 tanda tangan yang akan dikirimkan ke istana kepresidenan.
Peserta aksi mengenakan pakaian serba putih dan hitam. Warna putih sebagai lambang harapan dan ketulusan, sedangkan hitam sebagai tanda berkabung dan kemarahan atas ribuan nyawa anak-anak yang dilenyapkan bom-bom penjajah.

Bukan Isu Partai, Tapi Kemanusiaan
Maznah Shihabi, juru bicara gerakan ini, menekankan bahwa isu Palestina bukan milik satu partai politik tertentu, tapi merupakan urusan seluruh umat manusia tanpa memandang afiliasi ideologi.
“Tak bisa diterima jika seorang anak harus menuliskan namanya di tangan dan kaki agar mudah dikenali saat syahid. Saya tahu banyak warga Prancis yang sadar bahwa apa yang terjadi di Gaza adalah genosida,” ucap Maznah.
Salah satu suara yang menggema dalam aksi itu adalah kisah menggetarkan dari dr. Alaa Najjar, dokter anak di Gaza yang kehilangan sembilan anaknya sekaligus. Mereka ditemukan hangus terbakar di Rumah Sakit Nasser. Anak bungsunya baru berusia enam bulan, sementara satu-satunya yang selamat, Adam, usia 11 tahun, kini dirawat dalam kondisi kritis.
“Bayangkan Hind Rajab, gadis enam tahun yang memohon pertolongan, terjebak di bawah jasad keluarganya dalam mobil yang diberondong 335 peluru oleh tentara Israel. Suara tangisnya terus menghantui kami para ibu,” tambah salah seorang peserta.
Para peserta mendesak pemerintah Prancis agar segera bertindak dan menjatuhkan sanksi terhadap Israel sesuai dengan hukum internasional dan Konvensi Anti-Genosida.
Anak Gaza, Anak Kita Juga
Maznah turut mengenang sahabatnya, jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Aqleh, yang ditembak mati oleh pasukan Israel tiga tahun silam.
“Shireen seperti ibu bagi anak-anak saudaranya dan anak-anakku sendiri. Ia penuh kasih dan senang memberi hadiah kepada anak-anak.”
Mournia Labsi, aktivis perempuan dari komunitas migran Prancis, menambahkan bahwa apa yang terjadi di Gaza bukan hanya pembersihan etnis, tapi juga pembantaian sistematis terhadap ibu dan anak.
“Ini bukan kekejian yang netral dalam perang, tapi bagian dari rencana politik Israel untuk mengurangi jumlah generasi Palestina secara brutal,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.
“Anak-anak Gaza juga anak kami, apalagi kami para perempuan dari komunitas imigran di Prancis yang kerap mengalami kekerasan, diskriminasi, bahkan kehilangan anak karena brutalitas polisi,” tambahnya.

Anak-anak Dibantai, Dunia Masih Bungkam
Laporan PBB menyebutkan lebih dari 15 ribu anak Palestina telah syahid sejak 7 Oktober 2023, setara 25 anak yang terbunuh setiap hari. Lebih dari 34 ribu anak luka-luka, dan sedikitnya 4 ribu di antaranya mengalami amputasi, sering kali tanpa bius.
Ribuan anak masih hilang, sementara 17 ribu lainnya terancam mati kelaparan akibat blokade bantuan kemanusiaan dan medis oleh Israel.
“Ketika seorang anak Palestina gugur, hati kami sebagai ibu juga ikut terkoyak. Kami menangis untuk mereka, karena mereka adalah anak-anak kami juga,” pungkas Mournia Labsi.