Upaya Israel menangkap salah satu komandan pejuang Palestina di Gaza selatan kembali gagal. Operasi khusus yang menargetkan Ahmad Sarhan—komandan Alwiyat Shalahuddin, sayap militer Lajnah Perlawanan Rakyat—berujung pertempuran sengit di Khan Younis dan membuat Sarhan syahid. Para analis menilai kegagalan ini sebagai cerminan kesulitan besar yang akan dihadapi Israel bila tetap berupaya menduduki Gaza atau membebaskan para tawanan lewat kekuatan militer.

Kegagalan itu terjadi di tengah rencana perluasan operasi darat dalam fase ketiga agresi “Kereta Gideon”. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan niatnya untuk menguasai seluruh Jalur Gaza dan “menghancurkan Hamas sampai ke akarnya”.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich terang-terangan menyebut misi militer ini sebagai upaya “mengubah jalannya sejarah”, dengan target mengusir seluruh penduduk Gaza ke selatan, lalu ke negara ketiga.

Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa pendudukan penuh atas Gaza akan membawa konsekuensi berat. Yair Lapid, pemimpin oposisi Israel, menilai rencana menduduki Gaza selama 15 tahun ke depan sebagai “kesalahan strategis serta bencana ekonomi dan politik”.

Kegagalan Berulang dan Risiko Tinggi

Analis militer Elias Hanna menyebut kegagalan penangkapan Sarhan sebagai bukti kegagalan intelijen Israel dan ketatnya kontrol keamanan oleh Hamas.

Sarhan, bila ditangkap hidup-hidup, bisa menjadi sumber informasi penting tentang para tawanan, jaringan terowongan, hingga posisi pimpinan perlawanan.

Namun, kematian Sarhan memperkuat kekhawatiran bahwa upaya pembebasan tawanan melalui operasi militer hanya akan berujung pada kematian para sandera atau tentara Israel sendiri. Hal itu telah terjadi sebelumnya dalam operasi di Syujaiyah dan Khan Younis.

Menurut Hanna, bahkan jika tujuan Israel bukan pembebasan tawanan, melainkan pendudukan penuh Gaza, operasi ini akan membutuhkan waktu panjang dan menghadapi perlawanan sengit di lapangan.

Kritik Internal dan Genosida

Pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menambahkan bahwa rencana Israel menghadapi penolakan luas, bahkan dari sebagian elit politik dan militer. Mereka memperingatkan bahwa langkah ini bisa menyeret Israel ke dalam pelanggaran hukum internasional yang sulit dibantah.

Mustafa menegaskan bahwa keputusan pendudukan penuh Gaza telah disahkan secara resmi oleh kabinet keamanan Israel. Ia menilai pernyataan Netanyahu dan Smotrich dapat dijadikan bukti adanya niat melakukan pembersihan etnis di hadapan pengadilan internasional.

Sementara itu, keluarga para tawanan mulai kehilangan harapan. Mereka menganggap rencana pendudukan sebagai penanda bahwa pemerintah telah menutup pintu atas negosiasi pembebasan orang-orang tercinta mereka.

Washington Frustrasi dan Desak Gencatan Senjata

Di sisi lain, Amerika Serikat mulai menunjukkan ketidaksabaran atas sikap Israel. James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, menyatakan bahwa Washington tidak menghendaki perluasan agresi dan mendorong terwujudnya gencatan senjata.

Robbins menilai hubungan AS-Israel memang tak akan retak total, tapi Israel harus menyadari bahwa sekutu terkuatnya sedang kehilangan kesabaran. Ia menyinggung tawaran mediator David Witzthum untuk menukar separuh tawanan dengan jeda pertempuran selama dua bulan sebagai bentuk tekanan terhadap kedua pihak.

Meskipun belum jelas langkah konkret apa yang akan diambil Washington, Robbins menyebut adanya sinyal frustrasi yang makin kuat dari Gedung Putih, apalagi disertai ancaman dari Inggris, Prancis, dan Kanada soal kemungkinan sanksi terhadap Israel.

Menurutnya, kebuntuan saat ini kembali berpulang pada perbedaan mendasar: Israel bersikukuh pada pelucutan senjata Hamas, sementara Hamas menuntut penghentian total perang. Robbins menyimpulkan bahwa tawaran pertukaran tawanan untuk gencatan senjata dua bulan bisa menjadi opsi paling realistis dalam waktu dekat.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here