Di tengah perang berkepanjangan di Jalur Gaza, tentara Israel menghadapi krisis yang lebih dalam dari sekadar kekurangan logistik atau strategi tempur. Perang ini telah menggerogoti fondasi psikologis para tentaranya, memperlihatkan sisi lain dari kehancuran yang selama ini coba disembunyikan.

Kondisi kekurangan pasukan memaksa militer Israel mengambil langkah ekstrem: memanggil kembali tentara yang menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD) hingga mereka yang mengalami gangguan mental permanen, untuk kembali bertempur di medan perang.

Langkah nekat ini mencerminkan betapa seriusnya keretakan moral dan sumber daya manusia di tubuh militer Israel.

Lonjakan Bunuh Diri dan Sakit Jiwa yang Disembunyikan

Menurut laporan harian Haaretz, hingga akhir 2024 setidaknya tercatat 35 kasus bunuh diri di kalangan tentara sejak perang meletus pada 7 Oktober 2023. Sementara Kementerian Pertahanan Israel mencatat hampir 9.000 tentara mengalami gangguan psikologis sejak invasi ke Gaza dimulai.

Lebih mengejutkan lagi, bagian rehabilitasi kementerian tersebut saat ini menangani sekitar 78.000 korban luka dari berbagai konflik, termasuk lebih dari 26.000 penderita gangguan mental. Dari jumlah itu, lebih dari 11.000 diklasifikasi mengidap PTSD.

Sejak perang Gaza berlangsung, tambahan sekitar 17.000 korban baru masuk daftar perawatan, 9.000 di antaranya mengalami gangguan psikologis.

Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya desersi dan penolakan wajib militer, terutama dari kalangan ultra-Ortodoks Yahudi (haridim), hingga membuat kalangan militer sendiri meragukan kemampuan mereka melanjutkan perang skala penuh di Gaza.

“Saya Dalam Bahaya, Bisa Sakiti Diri Sendiri atau Orang Lain”

Laporan investigatif jurnalis Haaretz, Tom Levinson, mengungkap sisi kelam yang selama ini ditutup-tutupi militer Zionis. Karena kekurangan pasukan tempur, ratusan prajurit yang mengalami gangguan jiwa kembali direkrut tanpa pemeriksaan kesehatan mendalam, hanya agar krisis ini tidak terungkap ke publik.

Salah satu tentara yang diwawancarai berkata jujur, “Saya dalam bahaya. Bisa saja saya melukai diri sendiri atau orang lain.”

Kematian seorang tentara pada April lalu menjadi sorotan. Ia bukan tewas di medan perang, tapi bunuh diri. Tak ada publikasi, tak disebutkan nama. Militer memilih bungkam, mempertegas tabir gelap soal angka bunuh diri yang enggan mereka ungkap sepanjang tahun ini.

Levinson juga menyoroti kekacauan dalam koordinasi antara militer dan Kementerian Pertahanan. Hingga kini, belum ada basis data tunggal yang memuat tentara yang mengalami gangguan mental.

Akibatnya, mereka yang sedang menjalani rehabilitasi pun bisa saja dipanggil kembali ke medan perang tanpa sepengetahuan satuannya.

Dilema 2025: Pasukan Zionis Tersesat di Gaza Tanpa Tujuan

Dalam artikel analisis bertajuk “Dilema 2025: Ke Mana Perang Gaza Akan Berakhir?”, jurnalis militer Yedioth Ahronoth, Ronen Bergman, menggambarkan tentara Israel tengah terjebak dalam “jebakan mematikan”.

Satu sisi, publik Israel mulai kehilangan arah dan tidak memahami lagi tujuan dari perpanjangan perang. Sisi lain, keluarga para tawanan mulai takut langkah militer justru membahayakan nyawa orang-orang yang mereka cintai.

Meski Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yisrael Katz tampil memberikan dukungan penuh terhadap militer, Bergman menduga itu hanya strategi politik agar kegagalan perang nanti bisa dibebankan sepenuhnya kepada militer.

Lebih lanjut, Bergman menyebut para komandan tentara kini terdorong menjalankan rencana “pendudukan merayap” di Gaza demi mengejar prestasi semu.

Namun rencana ini ditentang banyak petinggi militer karena dinilai hanya akan menyeret Israel ke beban keamanan yang lebih besar.

Bahkan seorang pejabat intelijen menyatakan, “Kalau ingin membebaskan tawanan dalam keadaan hidup, satu-satunya cara adalah negosiasi dengan Hamas.”

Seruan Internasional dan Peringatan Bencana Kemanusiaan

Dari sudut pandang lain, analis militer Haaretz, Amos Harel, menilai Israel makin tenggelam dalam kekacauan di Gaza. Satu-satunya jalan keluar, menurutnya, hanyalah tekanan dari luar, terutama dari Amerika Serikat. Selagi Netanyahu terus memainkan panggung politik, nyawa para sandera dan reputasi Israel di mata dunia kian terancam.

Maret lalu, Kepala Staf baru IDF, Eyal Zamir, sempat mengusulkan rencana pendudukan besar-besaran dengan mengerahkan enam divisi ke Gaza. Namun realitanya, hanya sebagian kecil pasukan cadangan yang benar-benar dikerahkan ke sana. Sebagian besar malah diarahkan ke Tepi Barat dan perbatasan utara.

Di sisi lain, serangan udara terus meningkat sebagai bagian dari persiapan operasi darat bertajuk “Gerobak Gideon”. Namun peringatan telah disuarakan: bencana kemanusiaan bisa terjadi dalam waktu 10 hari jika tidak ada intervensi dari luar.

Bahkan, ada kekhawatiran bahwa Israel bisa dikenai sanksi internasional jika Presiden AS Donald Trump tidak turun tangan meredam eskalasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here