Dr. Liqaa Maki, peneliti senior di Pusat Studi Al Jazeera, menegaskan, keamanan dan perdamaian di Timur Tengah tidak akan terwujud selama Israel masih terus melanjutkan perang brutalnya di Jalur Gaza. Ia menyoroti bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam kunjungannya ke negara-negara Teluk, belum menunjukkan arah maupun peta jalan konkret untuk menyelesaikan krisis Gaza.
“Selama perang di Gaza tak dihentikan,” ujar Maki dalam wawancara dengan Al Jazeera, “maka mustahil api konflik padam. Seluruh kawasan akan tetap hidup dalam ancaman, selama Israel terus bertindak semena-mena tanpa kendali.”
Pernyataan itu disampaikan di tengah pelaksanaan KTT Teluk-AS yang digelar pada Rabu di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. KTT tersebut dibuka oleh Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, dan dihadiri oleh para pemimpin negara anggota GCC, termasuk Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Emir Kuwait Sheikh Meshaal Al-Ahmad Al-Sabah, serta Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa.
Dalam pidato pembukaan, Mohammed bin Salman menegaskan: “Kami berupaya menghentikan eskalasi dan mengakhiri perang di Gaza. Solusi menyeluruh bagi Palestina adalah keharusan.”
Namun menurut Maki, pidato Presiden Trump selama dua hari pertemuan tak membawa harapan. “Trump hanya menyebutkan hak hidup rakyat Palestina dan penolakan atas kekerasan,” jelas Maki, “namun tanpa membawa solusi, tanpa menawarkan jalan keluar.”
Bahkan dalam pernyataannya, Trump menyalahkan pemimpin-pemimpin di Gaza, menuding mereka melakukan “pembunuhan dan pemerkosaan,” serta kembali mengecam gerakan perlawanan Hamas. Maki meyakini bahwa Trump tidak akan memberikan solusi nyata untuk Palestina selama turnya ke Timur Tengah.
Media Israel sendiri mengabarkan tentang sebuah proyek dua tahap dari AS, yang disebut sebagai rencana utusan Timur Tengah Stephen Whitcoff. Jika rencana itu berjalan, mungkin akan ada bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza. Tapi menurut Maki, itu hanya solusi parsial, sementara di sisi lain PM Israel Benjamin Netanyahu tetap ngotot menempuh solusi militer total di Gaza.
Kebijakan AS di Suriah: Pintu Baru untuk Stabilitas atau Ancaman Baru?
Terkait Suriah, Maki menyebutkan bahwa pertemuan bilateral antara Menlu AS dan Suriah, serta kemungkinan pencabutan sanksi terhadap Damaskus, merupakan langkah maju yang sebelumnya tak terbayangkan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa stabilitas di Suriah masih sangat rapuh karena serangan Israel yang terus berlangsung dan campur tangan berbagai pihak asing.
“Jika Amerika dan Suriah mulai bekerja sama di bidang keamanan, membuka kedutaan, dan menjalin hubungan diplomatik serta ekonomi, maka peta geopolitik kawasan bisa berubah drastis,” kata Maki.
Ia menilai bahwa jika Suriah menjadi bagian dari orbit dan aliansi Barat serta menjalin persahabatan dengan AS, maka hal itu akan mengubah keseimbangan kekuatan regional secara signifikan.
Hari ini, Rabu, untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, Presiden AS Donald Trump bertemu langsung dengan Presiden Suriah Ahmad Al-Shar’ dalam pertemuan bilateral di sela-sela KTT Teluk-AS. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Putra Mahkota Saudi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan (secara daring), serta Menlu AS Mark Rubio dan Menlu Suriah As’ad Al-Shaybani.
Langkah pencabutan sanksi terhadap Suriah ini berpotensi memukul strategi Israel, yang selama ini mendorong isolasi terhadap Suriah untuk melemahkan dan memecah-belah negara tersebut. Netanyahu selama ini bersikap keras terhadap pemerintahan Damaskus.
Soal Iran: Trump Mau Damai, tapi dengan Syarat
Terkait Iran, Maki menilai bahwa Trump sebenarnya ingin menjalin kesepakatan, tetapi ia memberi tiga syarat utama:
- Iran harus menghentikan program pengayaan nuklir,
- Mengakhiri apa yang disebut sebagai dukungan terhadap terorisme,
- Menyelesaikan isu program rudal balistik.
- Maki memprediksi bahwa Iran mungkin akan memberikan sejumlah konsesi, dan perundingan antara kedua negara berpotensi berakhir positif.