Setelah gagal mencabik-cabik wilayah Gaza lewat operasi militer besar-besaran, militer pendudukan Israel kini beralih ke strategi yang lebih kejam: mencekik Gaza perlahan. Itulah analisis dari Brigadir Jenderal Elias Hanna, pakar militer dan strategi, yang menilai keputusan Israel memperluas operasi militer di Gaza menandai perubahan fase dari taktik kejam menjadi bentuk pengepungan total.

Menurut Hanna, operasi militer lanjutan ini bukan dimaksudkan untuk menduduki Gaza sepenuhnya, juga bukan manuver militer berskala besar seperti yang dilakukan di awal agresi.

Tujuannya lebih terselubung namun berbahaya:

  • Menekan perlawanan secara psikologis dan fisik
  • Memperluas wilayah Israel secara bertahap
  • Gaza Dikoyak Zona Abu-Abu

Dalam segmen analisis militer Al Jazeera, Hanna menyoroti laporan The Washington Post yang mengungkap bahwa sekitar 70% wilayah Gaza—setara 255 km persegi—telah berubah menjadi “zona penyangga” atau “area kosong”, tempat yang tak lagi bisa dihuni warga sipil.

Hal ini sejalan dengan laporan Channel 12 Israel yang menyebut bahwa Tel Aviv telah memutuskan memanggil puluhan ribu tentara cadangan untuk memperluas operasi militer di Gaza. Meski tidak akan menggelar serangan darat besar-besaran, perluasan ini disebut sebagai “peningkatan satu tingkat” dalam invasi darat.

Strategi Tanpa Arah Politik

Hanna menyebut strategi ini gagal secara substansi. Meski Israel terus memakai kekuatan militer, tak ada arah politik yang jelas sebagai ujung dari semua kekejaman ini.

“Mereka hanya ganti taktik, tapi tetap dalam bingkai strategi yang sama—dan itu strategi yang gagal,” tegasnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa zona penyangga Israel tak lagi sebatas 700 hingga 110 meter dari perbatasan seperti dulu. Kini zona itu masuk lebih dalam ke jantung Gaza, mempersempit ruang gerak warga sipil sekaligus menekan garis logistik pejuang.

Operasi ini, kata Hanna, difokuskan di jalur Netzarim–Kisufim–Morag hingga koridor Philadelphi. Invasi dilakukan dari arah timur menuju laut, menyekat Gaza seperti labirin, dan memutus mobilitas rakyat maupun pejuang.

Tentara Israel Mulai Lelah

Namun strategi pengepungan ini datang dengan harga mahal bagi Israel. Hanna mengungkap tanda-tanda kelelahan serius di tubuh militer pendudukan. Tentara cadangan yang biasanya hanya aktif 20 hari dalam setahun, kini sudah bertugas hingga 500 hari tanpa jeda.

Lebih dari itu, jumlah sukarelawan untuk dinas militer menurun drastis hingga 30–40 persen. Artinya, moral pasukan mulai rapuh.“Ini bukan lagi operasi militer biasa. Ini titik jenuh. Tentara mereka kelelahan,” jelasnya.

Dan itu berarti satu hal: ambisi besar Netanyahu untuk ‘mengubah wajah Timur Tengah’ terlalu muluk jika dibandingkan dengan kapasitas militer Israel hari ini.

Jika mereka benar-benar berniat bertahan di Gaza, maka itu hanyalah jalan panjang menuju kehancuran ekonomi dan psikologis.

Krisis di Dalam Negeri Israel Makin Dalam

Hanna juga menyinggung keretakan internal di tubuh elite Israel. Ketegangan yang sebelumnya terjadi antara mantan Kepala Staf Herzi Halevi dan Netanyahu kini kembali muncul, kali ini antara Netanyahu dan Kepala Staf yang baru, Eyal Zamir.

Perpecahan antara kubu militer dan elite politik yang dulu coba disembunyikan, kini tak bisa ditutupi lagi. Dan itu hanya akan memperparah kegagalan mereka di medan perang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here