Gelombang aksi massa kembali menggema di berbagai kota Arab dan Barat, menuntut dihentikannya genosida dan pembantaian brutal yang dilakukan Israel di Jalur Gaza. Namun, para analis politik berbeda pandangan mengenai seberapa besar dampak nyata dari mobilisasi ini terhadap situasi di lapangan.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Amerika di Paris, Ziad Majed, jumlah demonstrasi dan partisipannya saat ini masih lebih sedikit dibandingkan setahun lalu. Meski begitu, ia mengakui bahwa aksi-aksi tersebut berhasil mengembalikan Palestina sebagai isu utama dalam kesadaran global.
Dalam wawancaranya bersama program Masar Al-Ahdats, Majed menilai bahwa gelombang protes ini belum terhubung dengan pusat-pusat pengambil keputusan di Eropa. Ia juga meyakini aksi-aksi tersebut tidak akan berpengaruh pada pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya bersikap di luar kelaziman diplomatik.
Majed menyatakan, selama pasokan senjata ke Israel terus mengalir dan tidak ada sanksi internasional yang diberlakukan, serta negara-negara Arab belum keluar dari Kesepakatan Abraham, maka demonstrasi massa akan tetap terisolasi dari kenyataan genosida yang berlangsung.
Sementara itu, Koalisi Global untuk Menghentikan Genosida di Gaza—sebuah aliansi internasional lembaga masyarakat sipil—mengajak masyarakat dunia untuk melakukan mogok massal dan aksi pembangkangan sipil pada Senin (7/4) ini, hingga Israel menghentikan pembantaian di Gaza.
Koalisi ini juga menyerukan demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia, termasuk aksi mengepung kedutaan besar AS dan Israel.
Terlepas dari berbagai tekanan, unjuk rasa tetap digelar di berbagai kota Eropa dan Amerika Serikat, meskipun para aktivis mengaku mendapat tekanan dan pembatasan karena menyuarakan dukungan terhadap Palestina.
Pengamat isu Israel, Ihab Jabarin, mengatakan bahwa protes internal di Israel tidak efektif melawan pemerintahan Benjamin Netanyahu. Namun, ia menilai aksi-aksi internasional justru lebih penting.
Jabarin menekankan bahwa tekanan dari luar negeri bisa berdampak besar terhadap negara-negara yang bekerja sama dengan Tel Aviv. Ia menyebut Netanyahu berhasil memecah belah protes internal, seperti antara kelompok yang menuntut pembebasan sandera dengan para pendukung reformasi peradilan atau mereka yang menentang pemecatan kepala dinas intelijen Shin Bet.
Namun menurutnya, Netanyahu bisa terpojok jika terjadi pembangkangan dari dalam institusi ekonomi dan militer Israel. Saat ini, lanjut Jabarin, sang perdana menteri masih memanfaatkan ancaman Iran untuk menyatukan faksi-faksi internal Israel.
Dari sisi Amerika, peneliti di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, James Robbins, meragukan protes akan berdampak pada pemerintahan Trump. Ia menyebut Presiden Trump tidak tertarik pada isi pesan maupun tuntutan demonstran.
Robbins menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini justru mengambil langkah-langkah hukum terhadap universitas-universitas yang menggelar aksi protes anti-perang, dan tak menutup kemungkinan akan ada tindakan lanjutan terhadap mahasiswa dan dosen yang terlibat.
Meski begitu, Ziad Majed memuji konsensus organisasi-organisasi HAM dan lembaga internasional yang mengakui bahwa Israel telah melakukan genosida dan pembersihan etnis di Gaza. Ia juga menilai pentingnya aksi mogok pelajar, terutama di tengah kelumpuhan negara-negara dalam menegakkan hukum internasional.
Majed menegaskan perlunya gerakan hak asasi dan diplomatik yang lebih intensif, serta menyadarkan Amerika Serikat bahwa dukungannya yang tanpa syarat kepada Israel justru merugikan kepentingan globalnya.
“Wilayah ini akan menghadapi bulan-bulan sulit, dan situasi kemungkinan akan terus menggantung,” ujarnya.
“Trump mungkin akan mendengar suara lain selain Israel jika kondisi seperti ini berlangsung lebih lama.”
Namun, Robbins berpendapat bahwa perhatian dunia ke depan akan lebih tertuju pada isu nuklir Iran. Ia menyebut Teheran kini telah kehilangan banyak sekutu regional, dan pemerintahan Trump sudah memulai gelombang serangan militer intensif terhadap kelompok Houthi di Yaman.
Sumber: Al Jazeera