Dua analis politik menilai bahwa Hamas telah melempar “bola api” ke Israel dan memperburuk krisis internalnya dengan respons terhadap usulan yang diterima dari mediator. Usulan tersebut mencakup persetujuan Hamas untuk membebaskan tentara Israel Edan Alexander, yang juga berkewarganegaraan AS, serta menyerahkan jenazah empat warga berkewarganegaraan ganda.

Hamas mengumumkan telah menyampaikan responsnya pada Jumat dini hari dan menegaskan kesiapannya untuk memulai negosiasi guna mencapai kesepakatan menyeluruh terkait tahap kedua perjanjian. Hamas juga mendesak Israel untuk memenuhi seluruh kewajibannya dalam perjanjian gencatan senjata.

Analis politik Said Ziyad menilai Hamas berupaya memecah kebuntuan negosiasi dan membongkar narasi Israel dengan menerima tawaran utama Adam Boehler, utusan Presiden AS Donald Trump untuk urusan sandera, yang disampaikan oleh mediator pada Kamis malam. Menurutnya, Hamas tidak memberikan persetujuan prosedural, melainkan persetujuan bersyarat jika proses ini dikaitkan dengan tahap kedua pertukaran tahanan dan gencatan senjata di Gaza.

Ziyad menambahkan bahwa respons Hamas bisa menarik perhatian AS dan membuktikan bahwa kelompok ini terbuka untuk negosiasi tanpa mengorbankan posisi mereka. Selain itu, kesediaan Hamas untuk membebaskan seorang sandera berkewarganegaraan AS dapat memicu tekanan dari keluarga sandera dan masyarakat Israel, yang akan melihat bahwa warga dengan kewarganegaraan ganda memiliki keistimewaan dalam negosiasi.

Ia juga memperkirakan bahwa sikap Hamas ini akan mempersulit Israel dalam menghadapi AS. Namun, Ziyad tidak menutup kemungkinan bahwa langkah ini dapat mempercepat negosiasi tahap kedua dan meningkatkan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Manuver Netanyahu

Sementara itu, akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, menilai bahwa Israel akan menangani situasi ini dengan sangat hati-hati. Menurutnya, Israel memasuki negosiasi dengan membawa usulan utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Wietcov, yang mengusulkan gencatan senjata sementara dengan imbalan pembebasan sejumlah sandera Israel.

Mustafa menjelaskan bahwa penerimaan Hamas terhadap usulan mediator menempatkan Israel dalam dilema, terutama jika mediator telah menjanjikan Hamas kelanjutan ke tahap kedua. Israel sendiri menolak masuk ke tahap tersebut dan lebih memilih memperpanjang tahap pertama atau mencari mekanisme baru untuk memperpanjang gencatan senjata sembari memperoleh lebih banyak sandera.

Secara politik, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendapat tekanan untuk menyetujui kesepakatan menyeluruh, bukan hanya kesepakatan terbatas. Selain itu, pembebasan tahanan berkewarganegaraan ganda dapat memicu polemik domestik. Namun, Mustafa menilai Netanyahu akan memanfaatkan situasi ini untuk bermanuver dan mengulur waktu.

Sementara itu, harian Jerusalem Post mengutip seorang pejabat Israel yang menuduh bahwa proposal Hamas untuk membebaskan sandera berkewarganegaraan AS bertujuan menggagalkan negosiasi.

Menurut Ziyad, Hamas telah “melempar bola api” ke Israel, yang memperburuk krisis internalnya. Ia juga memperkirakan bahwa kedekatan AS dengan Hamas dapat mengurangi dukungan Washington terhadap Israel dan menghalangi kembalinya perang di Gaza.

Diketahui bahwa utusan AS Adam Boehler sebelumnya telah bertemu dengan pejabat senior Hamas di Doha, Qatar, tanpa sepengetahuan Israel, untuk membahas pembebasan sandera, termasuk lima warga negara AS.

Pada awal Maret lalu, tahap pertama gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel berakhir. Kesepakatan ini dimulai pada 19 Januari lalu dengan mediasi Qatar dan Mesir serta dukungan AS.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here