Universitas al-Azhar, pusat pendidikan terkemuka di dunia Muslim, menyerukan para pemimpin Arab, Muslim dan dunia untuk menolak rencana untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Rencana itu sebelumnya disampaikan Presiden AS Donald Trump dan mendapat dukungan pihak Israel.
Dalam sebuah pernyataan yang dilansir pada Rabu, lembaga yang bermarkas di Kairo tersebut menyerukan dukungan terhadap posisi Mesir dan negara-negara Arab dalam membangun kembali Jalur Gaza tanpa merelokasi penduduknya. Demikian juga dengan tekanan untuk menerapkan kesepakatan gencatan senjata di wilayah kantong tersebut.
“Tidak seorang pun berhak memaksa rakyat Palestina untuk menerima usulan yang tidak bisa diterapkan, dan seluruh dunia harus menghormati hak rakyat Palestina untuk tinggal di tanah mereka dan mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya,” bunyi pernyataan itu dilansir Anadolu.
Lembaga bergengsi tersebut mendesak “para pemimpin Arab, Muslim dan dunia untuk menolak skema pengungsian yang bertujuan untuk melenyapkan perjuangan Palestina selamanya dengan memaksa warga Palestina meninggalkan tanah air mereka.”
“Kegagalan komunitas internasional untuk mendukung mereka yang tertindas akan mendorong seluruh dunia – dari Timur hingga Barat – ke dalam ketidakstabilan, mengubahnya menjadi sebuah hutan dimana yang kuat melahap hak-hak mereka yang lemah dan terpinggirkan,” laporan tersebut memperingatkan.
Mereka juga menyerukan lembaga-lembaga keagamaan di seluruh dunia “untuk mengarahkan suara agama dalam membela kelompok marginal di Palestina.”
Sementara, Aljazirah melaporkan Raja Yordania Abdullah II menegaskan pengakuan terhadap hak-hak sah rakyat Palestina dan penerapan solusi dua negara adalah kunci untuk mencapai stabilitas regional. Menurut pernyataan istana kerajaan, Abdullah menegaskan kembali “stabilitas regional tidak dapat dicapai tanpa pemenuhan hak-hak sah rakyat Palestina dan pembentukan negara merdeka sesuai perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya”.
Raja menyerukan “mempertahankan gencatan senjata di Gaza dan meningkatkan upaya internasional untuk meningkatkan respons kemanusiaan” di wilayah kantong yang dilanda perang tersebut.
Dia memperingatkan konsekuensi serius atas eskalasi Israel di Tepi Barat yang diduduki, aktivitas pemukiman, dan “pelanggaran” terhadap tempat suci umat Islam dan Kristen di Yerusalem, kata pernyataan itu.
Yordania dan Mesir menghadapi tekanan yang semakin besar dari AS untuk menerima warga Palestina setelah Presiden Donald Trump menyerukan untuk mengambil kendali atas Gaza dan merelokasi warga Palestina, sebuah gagasan yang ditolak keras oleh para pemimpin Palestina dan Arab.
Dalam pesan di situsnya, kelompok Hamas di Gaza menyerukan masyarakat untuk melakukan “demonstrasi massal di seluruh kota di dunia dan menjadikan hari Jumat, Sabtu, dan Ahad mendatang sebagai gerakan global” melawan pembersihan etnis di Palestina.
Pernyataan itu muncul setelah Trump menggandakan usulannya agar AS mengambil alih Jalur Gaza, mengusir penduduknya dari tanah mereka ke Yordania dan Mesir, dan membangun kembali wilayah tersebut menjadi “Riviera Timur Tengah”. Seruan itu juga disampaikan pasukan Israel terus menyerang dan mengusir warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki.
Reuters melaporkan, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi tidak akan melakukan perjalanan ke Washington untuk melakukan pembicaraan di Gedung Putih selama agendanya mencakup rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir warga Palestina dari Gaza, kata dua sumber keamanan Mesir.
Trump telah membuat marah dunia Arab dengan rencana untuk secara permanen mengusir lebih dari 2 juta warga Palestina dari Jalur Gaza, mengklaim kendali AS atas wilayah tersebut dan mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah”. Dia telah menuntut Mesir dan Yordania untuk menerima warga Palestina, dan mengancam akan menarik bantuan dari dua negara Arab sekutu AS tersebut jika mereka menolak.
Mesir mengatakan Trump telah menyampaikan undangan terbuka kepada Sisi untuk mengunjungi Gedung Putih awal bulan ini. Seorang pejabat AS mengatakan belum ada tanggal pasti untuk kunjungan tersebut. Kepresidenan dan Kementerian Luar Negeri Mesir tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mengunjungi Washington minggu ini. Sumber-sumber Mesir mengatakan salah satu tujuan kunjungannya adalah untuk menghindari kunjungan presiden yang berpotensi menimbulkan janggal. Menurut sumber-sumber Mesir, Abdelatty diberitahu selama pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahwa rencana perpindahan akan dibahas jika Sisi berkunjung.
Abdelatty menjawab bahwa pertemuan seperti itu tidak ada gunanya, dan diskusi apa pun harus membahas rencana Mesir untuk membangun kembali Gaza, kata sumber tersebut. Mesir mengatakan rencananya akan “memastikan warga Palestina tetap berada di tanah mereka”.
Sisi dan Raja Abdullah berbicara melalui telepon pada hari Rabu dan mendesak agar Gaza dibangun kembali tanpa menggusur warga Palestina, kata kepresidenan Mesir. Kedua pemimpin menyatakan keinginannya agar Trump memimpin upaya mencapai negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 dan bekerja sama secara erat untuk membangun perdamaian permanen di kawasan Timur Tengah.
Tahun lalu, Amerika mengalokasikan 1,3 miliar dolar AS bantuan militer ke Mesir, dan pada bulan Desember Amerika menyetujui potensi penjualan senjata senilai lebih dari 5 miliar dolar AS. “Tidak ada pemasok yang bisa menandingi Amerika, itulah sebabnya Mesir telah lama dengan senang hati mempertahankan hubungan ini, namun hal itu tidak akan mengorbankan kepentingan nasional mereka sendiri,” kata HA Hellyher, peneliti senior di Royal United Services Institute.
Sisi telah berulang kali mengatakan Mesir tidak akan pernah memfasilitasi pengusiran warga Palestina dari Gaza, yang menurut Kairo merupakan ancaman serius terhadap keamanan Mesir, termasuk dengan membiakkan ekstremisme dan memberikan dalih untuk serangan Israel di masa depan, serta ketidakadilan terhadap warga Palestina.
Dalam konteks terkait, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memuji ketegasan Indonesia dalam membela Palestina. Hal itu sampaikan Erdogan di hadapan Presiden RI Prabowo Subianto saat keduanya melakukan pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (12/2/2025).
“Mengenai masalah Palestina, saya mengapresiasi sikap bangsa Indonesia yang sangat tegas. Ke depan, dalam hal pembangunan kembali Palestina pascakonflik, kami akan terus melanjutkan kerja sama ini dengan Indonesia,” ucap Erdogan.
Pada perjumpaan itu, Erdogan juga menegaskan sikap Turki yang turut membela Palestina. Dia berpendapat, kemerdekaan Yerusalem Timur yang merupakan bagian dari Palestina namun diduduki Israel tidak bisa lagi ditunda, “Saya ingin menekankan lagi dengan tegas bahwa Yerusalem Timur yang didirikan pada 1967 kemerdekaannya dan kedaulatannya berdirinya negara Palestina yang merdeka itu tak bisa diundur-undur lagi,” jelas Erdogan.
Selain itu, Erdogan memandang segala upaya yang menghalangi kedaulatan Palestina hanya akan menambah masa konflik yang berimbas pada ketidakstabilan global. Ia berharap, kesepakatan antara Turki dan Indonesia dapat menjadi jembatan bagi kemaslahatan warga Palestina.
“Segala kesepakatan diskusi yang telah kita lakukan bersama saya harap menjadi perantara bagi banyak kebaikan. Sekali lagi saya mengucapkan dari hati paling dalam,” ungkap Erdogan.
Dalam pernyataan pers itu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia dan Turki berpandangan bahwa solusi perdamaian di Palestina adalah kemerdekaan bagi bangsa Palestina melalui disepakatinya solusi dua negara atau two state solutions.