Pernyataan yang dikeluarkan oleh militer pendudukan Israel semakin menunjukkan besarnya kerugian mereka, baik dari segi korban jiwa maupun luka-luka, khususnya di Gaza Utara. Hal ini disebabkan oleh operasi militer yang berhasil dilakukan para pejuang Palestina dalam menghadapi apa yang disebut sebagai “Rencana Jenderal”.
Operasi yang dipimpin oleh Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, telah membalikkan keadaan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan koalisinya yang beraliran ekstrem kanan. Mereka tengah memimpin perang genosida dan pengusiran terhadap rakyat Palestina di Gaza yang telah lama dikepung.
Netanyahu berusaha menciptakan tekanan negosiasi dan mengubah fakta di lapangan untuk memperkuat posisinya dalam pembicaraan gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Ia menggantungkan harapan pada keberhasilan militer di daerah Jabalia, Beit Hanoun, dan Beit Lahia, Gaza Utara.
Namun, serangan balik perlawanan di wilayah tersebut berhasil menggagalkan rencana Netanyahu. Mereka mengirimkan pesan kepada rakyat Israel bahwa pembebasan tawanan Israel hanya akan terjadi jika syarat-syarat perlawanan dipenuhi.
Strategi yang Gagal
Menurut analis politik Wisam Afifa, rencana jenderal Israel hanyalah upaya untuk memanfaatkan operasi militer demi agenda politik dalam negeri. Netanyahu berusaha meredam kemarahan pemukim Israel dengan menunjukkan bahwa pendudukan masih berada di atas angin.
Namun, strategi ini gagal total. Perlawanan berhasil melemahkan proyek pendudukan melalui serangan gerilya, penyergapan, dan perang jalanan yang menimbulkan kerugian besar bagi militer Israel. Sejak awal invasi Gaza Utara pada 5 Oktober 2024, 50 tentara dan perwira Israel tewas, sementara puluhan lainnya terluka.
Selain itu, perlawanan menghancurkan sekitar 40 tank, 27 buldoser, dan lebih dari 21 kendaraan pengangkut tentara. Akibat kerugian besar ini, Brigade Kfir dari militer Israel menarik pasukannya dari Jabalia, Beit Lahia, dan Beit Hanoun setelah mengalami kekalahan selama dua bulan.
Kemampuan Perlawanan Menentukan Agenda
Operasi perlawanan menunjukkan bahwa mereka mampu menentukan agenda, bahkan dalam kondisi terberat sekalipun. Perlawanan berhasil merusak tujuan perang Israel yang ingin menghancurkan kekuatan perlawanan dan melemahkannya secara signifikan. Sebaliknya, operasi ini mengungkap kelemahan internal Israel dan memperdalam perpecahan mengenai efektivitas perang.
Analis politik Fayid Abu Shamala menyebut operasi Gaza Utara sebagai salah satu kegagalan militer terbesar Israel sejak awal serangan pada Oktober 2023. Menurutnya, invasi ini didasarkan pada alasan yang tidak logis dan tekanan dari ekstremis dalam pemerintah Netanyahu.
Di Beit Hanoun, Israel menghadapi kegagalan berlapis-lapis. Pengosongan wilayah tersebut justru memberikan ruang kepada pejuang Palestina untuk melakukan serangan strategis yang mengirim pesan bahwa perlawanan tidak akan menyerah.
Negosiasi di Tengah Api Perang
Perlawanan juga berhasil mengubah dinamika negosiasi. Mereka menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan menekan Israel agar menerima syarat-syarat yang adil dalam perundingan.
Menurut laporan stasiun televisi Israel Channel 13, prajurit Israel mengaku bahwa mereka menghadapi serangan yang sangat terorganisasi. Kawasan Beit Hanoun dipenuhi dengan kamera pengintai dan jebakan yang diaktifkan dari terowongan. Pejuang Palestina mampu memilih target secara presisi dan mengontrol situasi sepenuhnya.
Hasil yang Berlawanan dengan Harapan Israel
Kondisi ini memaksa Netanyahu untuk mempertimbangkan kembali strateginya. Dengan lebih dari 800 tentara tewas dan sekitar 20.000 lainnya terluka, militer Israel berada dalam kondisi yang melelahkan baik secara fisik maupun mental.
Namun, Netanyahu tetap berupaya melanjutkan perang, didorong oleh koalisi kanan ekstrem yang mengandalkan konflik ini sebagai sumber kekuatan politik.
Menurut pengamat Israel Adel Shadid, perang ini justru menghasilkan dampak sebaliknya bagi Israel. Kerugian yang besar merusak kepercayaan rakyat Israel terhadap kemampuan militer mereka. Survei menunjukkan bahwa 75% warga Israel kini mendukung gencatan senjata, karena biaya perang jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
Pesan Perlawanan
Operasi perlawanan telah mengirimkan pesan kuat kepada Israel bahwa solusi militer tidak akan berhasil di Gaza. Israel kini dihadapkan pada kenyataan bahwa perlawanan tetap ada, rakyat Palestina tetap bertahan, dan keamanan Israel terus terancam.
Langkah selanjutnya bagi Netanyahu dan Israel akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengakui kenyataan ini dan mencari solusi politik yang realistis.
Sumber: Al Jazeera