Spirit of Aqsa– Di tengah sebuah pemakaman di Kota Khan Younis, Gaza Selatan, seorang anak bernama Karim Qishta, bersama puluhan teman sebaya—laki-laki dan perempuan—belajar menghafal Al-Qur’an, dasar-dasar bahasa Arab dan Inggris, serta matematika. Suara mereka lantang menyanyikan lagu-lagu nasional di tengah kuburan.

Karim, yang berusia 10 tahun, mengungsi bersama keluarganya dari Kota Rafah akibat operasi militer Israel yang berlangsung sejak Mei lalu. Begitu pula dengan anak-anak lainnya di sekolah Isnad Al-Khair, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak perang Israel dimulai pada 7 Oktober tahun lalu.

Meskipun mengaku takut berada di tengah kuburan, Karim tetap bersikeras, “Kami ingin belajar, meskipun dipaksa oleh Yahudi!” Tekadnya, seperti anak-anak Gaza lainnya, menunjukkan keinginan kuat untuk terus belajar di tengah kehancuran fasilitas pendidikan akibat perang.

Sekolah di Tengah Pemakaman

Tim sukarelawan Isnad Al-Khair mengubah sebuah bangunan kecil di tengah pemakaman di barat Khan Younis—yang sebelumnya digunakan sebagai tempat takziah—menjadi sekolah. Inisiatif pendidikan gratis ini disambut hangat oleh keluarga pengungsi yang tinggal di tenda-tenda di dalam dan sekitar pemakaman.

Rafif Al-Hilu, anak 10 tahun yang juga mengungsi bersama keluarganya dari Kota Gaza, mengaku merasa takut saat bersekolah di pemakaman. Namun, ia mengatakan, “Saya rindu belajar, dan keluarga saya mendukung saya.” Rafif memahami nilai pendidikan dan bermimpi menjadi seorang guru yang berkontribusi membangun generasi Palestina.

“Di Gaza, hanya di sini anak-anak belajar di tengah pemakaman, menghadapi kengerian perang dan pembantaian secara langsung,” kata Nesma Al-Dairi, seorang guru Pendidikan Islam. Ia menjelaskan, saat proses belajar mengajar berlangsung, sering kali jenazah syahid tiba untuk dimakamkan, dan anak-anak menyaksikan prosesi pemakaman, yang akan terus membekas di ingatan mereka.

Tantangan Besar dalam Pendidikan

Menurut Dalia Shalouf, anggota tim Isnad Al-Khair, tidak ada tempat lain selain bangunan di tengah pemakaman itu yang bisa digunakan untuk pendidikan. Sekolah-sekolah yang masih utuh telah berubah menjadi tempat penampungan ribuan pengungsi.

Inisiatif ini menghadapi berbagai kendala, termasuk kurangnya buku pelajaran dan kelangkaan alat tulis seperti buku dan pena. Para guru yang mengajar pun bekerja secara sukarela tanpa bayaran. Dalia menambahkan bahwa bangunan tersebut perlu dilengkapi penutup untuk melindungi anak-anak dari dingin dan hujan menjelang musim dingin.

Data resmi dari Kantor Informasi Pemerintah di Gaza menunjukkan bahwa sejak perang dimulai, lebih dari 12.780 siswa telah gugur, 785 ribu lainnya kehilangan akses pendidikan, dan ratusan sekolah—baik negeri maupun swasta, termasuk sekolah yang dikelola UNRWA—hancur total. Selain itu, sebanyak 755 guru dan staf pendidikan tewas akibat agresi militer Israel.

(Sumber: Al Jazeera)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here