Spirit of Aqsa- Seorang tahanan Palestina meninggal dunia karena pecah limpa dan tulang rusuk yang patah setelah dipukuli oleh penjaga penjara Israel. Seorang lainnya gugur syahid karena kondisi kronis yang tidak diobati, sementara tahanan ketiga meninggal dunia setelah berteriak meminta bantuan.

Tiga kasus kematian tersebut secara spesifik diangkat Lovda Morris dan Sufian Taha di Washintong Post berdasarkan kesaksian langsung para saksi mata. Dokter dari organisasi “Dokter untuk Hak Asasi Manusia di Israel” yang hadir dalam proses autopsi mengonfirmasi detail ini dan hasilnya dibagikan kepada keluarga korban.

Menurut organisasi hak asasi manusia tersebut, ketiga korban termasuk di antara 13 warga Palestina dari Tepi Barat dan Israel yang gugur syahid di penjara Israel sejak 7 Oktober, dengan jumlah tahanan yang meninggal dari Gaza tidak diketahui.

Para aktivis hak asasi manusia menilai ada krisis mendalam dalam sistem penjara Israel di mana “kekerasan merajalela” seperti yang dikatakan Jessica Montell, direktur eksekutif organisasi hak asasi manusia Israel “HaMoked”.

Tal Steiner, direktur eksekutif Komite Publik Menentang Penyiksaan di Israel, mengaitkan pelanggaran ini sebagian besar dengan suasana balas dendam yang meluas di Israel pasca serangan 7 Oktober. Menurutnya, ini adalah campuran antara perasaan pribadi yang negatif dan kekerasan, dukungan dari pembuat kebijakan, dan kurangnya akuntabilitas.

Kekacauan meletus di Sde Taiman sebagai protes terhadap penangkapan tentara yang menyalahgunakan tahanan Palestina, sementara Pengadilan Kriminal Internasional mempertimbangkan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Galant atas tindakan Israel di Gaza.

Kepala intelijen Israel Ronen Bar memperingatkan, kondisi di penjara negara itu dapat menyebabkan lebih banyak tindakan hukum internasional. Dalam sebuah surat, Bar menulis bahwa “Israel kesulitan menangkis tuduhan terhadapnya, dan beberapa tampaknya dibenarkan.”

Bar menyimpulkan, “krisis penjara menciptakan ancaman terhadap keamanan nasional Israel dan pencapaian tujuan perang yang telah ditetapkannya.” Namun Itamar Ben Gvir, Menteri Keamanan Nasional sayap kanan yang mengawasi sistem penjara Israel, tidak meminta maaf atas “perangnya” terhadap tahanan Palestina.

Sebaliknya, dia “secara signifikan mengurangi” waktu mandi dan menyederhanakan menu makanan, serta mengatakan bahwa solusi untuk kepadatan di penjara adalah eksekusi.

Kondisi Memprihatinkan di Penjara

Keluarga Abdul Rahman Bahash (23 tahun) -yang hukumannya berubah menjadi hukuman mati- mengatakan, putra mereka adalah anggota Brigade Syuhada Al-Aqsa dan ditangkap selama bentrokan bersenjata dengan pasukan Israel di Nablus, Tepi Barat.

Otoritas penjara Israel tidak memberikan rincian tuduhan terhadap Bahash maupun tahanan lain. Dua rekannya di Penjara Megiddo, di mana setidaknya tiga tahanan gugur syahid sejak Oktober, mengatakan, Bahash gugur syahid akibat pemukulan kejam oleh penjaga penjara pada Desember.

Seorang tahanan yang berada di bagian yang sama mengatakan, Bahash dan tahanan lain dipindahkan setelah pemukulan ke ruang isolasi yang dikenal sebagai “Tora Bora,” merujuk pada jaringan gua Al-Qaeda di Afghanistan. “Teriakan keras terdengar di bagian itu,” dan Bahash kembali dengan memar yang dalam, mengeluhkan patah tulang rusuk.

Menurut laporan Daniel Solomon, seorang dokter yang bekerja dengan “Dokter untuk Hak Asasi Manusia di Israel,” autopsi menunjukkan “memar di sisi kanan dada dan sisi kiri perut, menyebabkan beberapa tulang rusuk patah dan cedera pada limpa, akibat serangan fisik.”

Abdul Rahman Al-Ma’ari (33 tahun) juga tewas di Penjara Megiddo. Ia adalah seorang tukang kayu dan ayah dari empat anak, ditangkap di pos pemeriksaan sementara dan dituduh menjadi anggota Hamas dan memiliki senjata api. Dia dipenjara pada Februari 2023, menurut saudaranya Ibrahim.

Khairy Hamad (32 tahun), seorang tahanan di bagian yang sama, mengatakan bahwa Al-Ma’ari ditendang dari tangga logam dalam keadaan diborgol sebagai hukuman karena berdebat dengan penjaga yang sedang menggeledah ruangan tahanan setelah menelanjangi mereka.

Hamad melihat Al-Ma’ari berdarah dari kepala di dasar tangga sebelum dibawa oleh penjaga ke isolasi, dan pengacara Seri Khouria mendengar teriakannya meminta dokter dari sel terdekat.

Suara Al-Ma’ari hilang pada pukul empat pagi, dan Khouria mendengar suara penjaga yang menemukan tubuhnya dan memanggil dokter. Dokter mencoba melakukan resusitasi menggunakan alat defibrilator tetapi gagal, kemudian pengacara melihat penjaga membawa tubuh Al-Ma’ari dalam kantong jenazah.

Kepadatan, Pengabaian, dan Kelaparan

Banyak laporan berdasarkan kesaksian tahanan yang dibebaskan menggambarkan pengabaian bantuan medis, yang mungkin bisa mencegah kematian Muhammad Al-Sabbar (21 tahun) jika kondisi kesehatannya ditangani dengan benar, menurut Dani Russin dari organisasi hak asasi manusia.

Keluarga Al-Sabbar mengatakan dia menderita penyakit Hirschsprung sejak kecil, yang menyebabkan penyumbatan usus dan membutuhkan diet khusus serta obat-obatan.

Kepadatan juga menjadi masalah lain yang dialami tahanan. Otoritas penjara dan Kementerian Keamanan Nasional Israel mengumumkan pada awal April bahwa kapasitas penahanan untuk tahanan Palestina di penjara Israel adalah 14.500 tahanan, sementara jumlah aktual mencapai lebih dari 21.000.

Banyak tahanan yang dibebaskan mengeluhkan perlakuan buruk, penghinaan, dan pemukulan. Seorang tahanan Palestina, menurut pengacaranya dan catatan pengadilan, dipukuli di depan hakim selama sidang melalui video. Catatan pengadilan mencatat “kita sekarang bisa mendengar teriakan orang yang dipukuli di latar belakang,” tetapi teriakan berhenti ketika hakim campur tangan.

Selain kekerasan dan pengabaian medis, ada juga kebijakan kelaparan, menurut kesaksian tahanan yang dibebaskan. Setiap tahanan mengaku kehilangan berat badan yang signifikan di penjara, sekitar 13-23 kg.

Jurnalis Muath Al-Amarna (37 tahun) yang dipenjara selama 6 bulan di Megiddo mengatakan bahwa sel yang seharusnya dihuni 6 orang, berisi 15 orang selama dia berada di sana. Ia menggambarkan kelangkaan dan sedikitnya makanan, dengan pengacara Aya Al-Haj Udeh mengatakan bahwa makanan tahanan “hampir tidak cukup untuk bertahan hidup.”

Asosiasi Hak Sipil di Israel telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung pada bulan April terkait apa yang mereka sebut sebagai “kebijakan kelaparan,” dan Ben Gvir menanggapi asosiasi tersebut dengan mengatakan bahwa dia sengaja membuat “kondisi tahanan lebih buruk.”

Efek dari kelaparan dan penyiksaan juga terlihat pada Ma’aziz Ubaidat (37 tahun), yang tidak bisa berjalan saat keluar dari penjara Ketziot di Israel selatan setelah ditangkap pasca peristiwa 7 Oktober. Tulang pipinya menonjol dan matanya cekung.

Ubaidat mengatakan dia kehilangan lebih dari 45 kg dalam 9 bulan setelah sebelumnya menjadi binaragawan. Ia berbicara pelan saat menceritakan serangan seksual oleh penjaga menggunakan sapu. Dokter mengatakan dia menderita PTSD dan malnutrisi. Ubaidat mengakhiri ceritanya dengan mengatakan: “Ini seperti Guantanamo.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here