Tiga hari berlalu sejak Israel memulai apa yang mereka sebut “operasi darat” di Jalur Gaza. Namun, setelah 72 jam penuh dan pengerahan dua divisi lapis baja sekaligus, pasukan Israel masih gagal membuat kemajuan nyata.
Keterlambatan ini, menurut analis militer Kolonel (Purn) Nidal Abu Zaid, menunjukkan bahwa serangan itu lebih mirip uji coba dengan kekuatan besar ketimbang operasi militer konvensional. Israel menggunakan taktik infiltrasi terbatas, sekadar untuk mengukur kemampuan perlawanan. Mereka bahkan menurunkan hujan bom dan tembakan artileri besar hanya untuk menutupi area yang luasnya tak lebih dari 54 km² di Kota Gaza. Taktik ini, kata Abu Zaid, justru memperlihatkan kebutaan intelijen Israel yang gagal membaca medan dan potensi lawan setelah lebih dari 711 hari perang.
Di sisi lain, perlawanan Palestina tetap konsisten dengan strategi tempurnya: memaksa pasukan Israel bertarung di pinggiran, jauh dari pusat kota. Bukti terbaru datang dari video yang dirilis Brigade al-Qassam pada Jumat (5/9), memperlihatkan kendaraan lapis baja Israel hancur dihantam ranjau di timur Simpang Safatawi, dekat kamp Jabalia. Serangan itu merupakan bagian dari operasi “Tongkat Musa,” jawaban atas operasi Israel “Kereta Gideon 2” yang ditujukan untuk menduduki Kota Gaza.
Abu Zaid menegaskan, rangkaian operasi di Jabalia, Maghrafah, wilayah tengah, hingga Rafah, menunjukkan perlawanan mampu memecah konsentrasi Israel. Kini, tentara pendudukan bahkan terpaksa mengerahkan taruna sekolah perwira menggantikan pasukan reguler dan cadangan. Sebuah tanda jelas bahwa militer Israel kehabisan sumber daya manusia untuk menghadapi perlawanan yang tak kunjung padam.
Sementara itu, Israel meningkatkan tekanan terhadap warga sipil dengan membatasi jalur evakuasi. Mereka memaksa warga hanya bisa bergerak ke selatan melalui Jalan al-Rashid (jalan sempit selebar 5–10 meter) dengan tujuan menciptakan kondisi pengungsian yang semakin sulit, sekaligus membebani dukungan rakyat terhadap perlawanan.
Sejak 11 Agustus, serangan udara, penghancuran gedung, dan pemboman brutal terus menghantam kawasan Shuja’iyya, Zeitoun, Sabra, serta Jabalia. Semua itu dilakukan dalam bingkai operasi “Kereta Gideon 2,” dengan satu tujuan: menduduki Kota Gaza dan memaksa warganya terusir ke selatan.
Namun, 72 jam tanpa hasil nyata hanya menegaskan satu hal: Gaza mungkin porak-poranda, tapi perlawanan tetap tegak, memaksa tentara pendudukan bertempur di pinggiran, terjebak dalam perang yang kian melelahkan.