Di balik lembar kain yang koyak, di sebuah tenda lusuh di Khan Younis, Gaza selatan, hidup seorang lelaki tua yang dulunya berdiri gagah di ruang-ruang sidang sebagai pembela hukum. Namanya Ghanem al-Attar, 70 tahun, seorang pakar hukum internasional, kini hanya bisa membela keluarganya dari lapar dan haus. Ia tak lagi berjuang di hadapan hakim, tapi melawan senjata paling diam-diam dan mematikan: kelaparan yang direkayasa.

“Hidupku melompati satu abad hanya dalam hitungan bulan,” katanya getir. Rumah dan kantornya di Beit Lahiya hancur. Anaknya gugur dalam pembantaian yang bahkan dunia enggan menamai. Sekarang, ia dan 22 anggota keluarganya bertahan dalam satu tenda robek, di tempat yang oleh dunia disebut “zona aman”, tapi oleh mereka disebut “titik paling kelam dari perang ini”.

Setiap hari, Ghanem memulai pagi dengan langkah renta, menjelajahi puing-puing peradaban mencari air bersih dan sejumput makanan. Dalam video yang viral, ia tampak berlari dengan galon kosong di tangan—bukan untuk hidup mewah, tapi untuk hidup cukup. Hukum internasional yang dulu ia pelajari dan bela kini hanya tinggal dokumen mati, tak mampu membendung kekejaman yang nyata.

Ketika Bantuan Menjadi Perangkap
Apa yang disebut sebagai “pusat distribusi bantuan” kini berubah jadi medan kematian. Sejak 27 Mei 2024, lebih dari 1.500 warga Gaza gugur di lokasi distribusi bantuan, tertembak, terinjak, tertinggal. Bukannya memberi makan, pusat-pusat ini memanen kematian, dengan Israel dan kontraktor asing sebagai aktor, dan Amerika sebagai penyokong utama.

PBB sendiri mengecam pusat-pusat ini, menyebutnya sebagai alat politik yang mempersempit distribusi bantuan, menggiring warga ke satu wilayah, dan memaksakan kelaparan sebagai bagian dari strategi militer. Ini bukan distribusi, ini adalah desain penderitaan.

Air Mata Hukum dan Kebebasan yang Dirampas
Ghanem, yang pernah menjadi tahanan politik dan menghabiskan 30 bulan di penjara Israel, tak asing dengan penindasan. Tapi yang ia alami kini jauh melampaui segala bentuk kekejaman yang ia pahami lewat buku-buku hukum.

“Hukum internasional berubah menjadi lelucon tragis,” katanya. “Semua pasal tentang hak hidup, perlindungan sipil, bantuan kemanusiaan, di Gaza, itu tak lebih dari tinta yang memudar.”

Dengan pakaian compang-camping dan hanya kentang goreng sebagai makan siang, ia mengenang hari-harinya di pengadilan. Kini, Gaza bukan tempat para pengacara membela keadilan, melainkan tempat para ayah berjuang mencari sepotong roti agar anak-anak mereka tak mati di pelukannya.

Genosida yang Sunyi tapi Terstruktur
Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mengungkap sisi lain dari perang ini: lebih dari 722 sumur air dihancurkan, 113 proyek air dihentikan, dan 500 ribu meter jaringan air dibumihanguskan. Ini bukan kerusakan kolateral. Ini adalah strategi, sebuah bentuk “rekayasa kelaparan” yang rapi, sistematis, dan dibiarkan dunia.

Meski ada tekanan internasional, sejak 27 Juli hanya sebagian kecil bantuan yang diizinkan masuk. Gaza butuh 600 truk makanan dan bahan bakar setiap hari, namun yang datang hanya setetes di padang tandus. Dan itu pun harus menempuh jalur berbahaya (sengaja dibiarkan) hingga menyebabkan korban di antara warga yang putus asa menyerbu truk bantuan.

Tanggung Jawab yang Menguap
Ismail al-Thawabteh, juru bicara pemerintah Gaza, menegaskan: Israel dan negara-negara pendukung sistem distribusi yang kacau (terutama Amerika Serikat) bertanggung jawab penuh atas bencana ini. Mereka bukan hanya gagal mencegah, tapi secara aktif terlibat dalam genosida berbasis kelaparan dan kehausan.

Ia menyerukan dunia untuk tak lagi bermain dengan retorika dan angka statistik. “Tiap detik penundaan adalah pembiaran pembunuhan,” tegasnya. “Buka perbatasan. Hentikan syarat politik. Kirim makanan, air, dan obat.”

Penutup yang Pahit Tapi Penuh Daya Juang

Ghanem al-Attar, dengan tubuh renta dan tangan bergetar, masih punya semangat yang tak hancur. “Tenda di atas tanah Gaza lebih baik dari istana di pengasingan,” ujarnya.

Dalam reruntuhan, ia masih memeluk harapan. Sebab, seperti hukum yang ia yakini, kebenaran mungkin lama datangnya, tapi ia tak akan selamanya dikubur. Dan selama ada orang-orang seperti al-Attar, dunia akan tetap punya cermin (meski buram) untuk menatap nuraninya sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here