GAZA — Langit di atas Kamp Jabaliya, Gaza Utara, kini tak lagi riuh oleh langkah kaki anak-anak atau suara pedagang. Di kamp pengungsi terpadat di Jalur Gaza itu, kehidupan seakan berhenti di antara puing-puing dan debu perang.

Dalam laporan lapangan yang diterbitkan Al Jazeera Net, pasukan pendudukan Israel dilaporkan telah melanggar peta penarikan pasukannya. Garis pembatas baru yang mereka sebut “garis kuning” kini membelah jantung Kamp Jabaliya, menghalangi ribuan warga untuk kembali ke rumah mereka, meski perjanjian gencatan senjata sudah berjalan selama berminggu-minggu.

Lebih dari separuh warga di wilayah Gaza Utara (mencakup Kota Beit Lahia, Beit Hanoun, dan Kamp Jabaliya) masih terjebak di luar rumah mereka. Garis kuning ini bukan sekadar batas militer, tapi simbol pengasingan: garis yang memisahkan mereka dari tanah, keluarga, dan sisa kehidupan yang pernah mereka miliki.

Mereka yang berhasil kembali pun hidup dalam ketakutan. Setiap hari, suara tembakan dan dengungan drone Israel (quadcopter) menjadi latar belakang kehidupan mereka di tengah reruntuhan. Namun di balik ketakutan itu, masih tersisa harapan, harapan bahwa tentara Israel suatu hari benar-benar mundur ke perbatasan timur dan utara, dan bahwa gencatan senjata akan berarti sesuatu yang nyata.

Hidup di Bawah Bayang “Garis Kuning”

Arkan Faris, seorang warga Kamp Jabaliya, kini tinggal di antara sisa-sisa rumahnya yang telah rata dengan tanah. Setelah dua tahun perang dan empat kali invasi militer, yang tersisa dari rumah itu hanyalah debu dan dinding patah.

Hanya 300 meter dari “garis kuning”, Faris hidup dalam ketegangan tanpa henti. Setiap langkahnya ia jaga agar tetap di balik bangunan yang masih berdiri, khawatir peluru nyasar dari tentara Israel yang bersembunyi di balik garis tersebut. Malam hari, ia menutup diri di dalam rumah, karena aktivitas pasukan Israel meningkat di waktu gelap, saat gedung-gedung yang tersisa sering kali diledakkan tanpa peringatan.

Setiap pagi, Faris mencoba berjalan ke rumah ayahnya yang hanya berjarak 500 meter. Tapi setiap kali ia harus kembali. Kawasan itu kini berada di bawah “kendali tembakan” penuh pasukan pendudukan, membuat setiap langkah warga seperti taruhan antara hidup dan mati.

Jabaliya (kamp seluas hanya 1,4 kilometer persegi yang dulunya menampung 120 ribu pengungsi) kini menjadi kota hantu. Kamera Al Jazeera Net menunjukkan jalanan kosong, toko-toko tertutup, dan hanya beberapa orang yang berlari menyeberang, takut disergap peluru dari menara pengawas Israel.

Garis yang Melumpuhkan Kehidupan

Data dari otoritas lokal Gaza Utara menunjukkan, pasukan Israel kini menguasai lebih dari setengah wilayah Kamp dan Kota Jabaliya (18 km²) yang dihuni 220 ribu jiwa. Mereka juga menduduki seluruh Kota Beit Hanoun (16,5 km²) dan sekitar 40 persen wilayah Beit Lahia (25 km²), yang sebelumnya menjadi rumah bagi 110 ribu warga.

Kekuasaan Israel di wilayah ini bukan sekadar militer; ia juga menutup nadi ekonomi warga. Menurut Alaa Al-Attar, Wali Kota Beit Lahia, lebih dari 10 ribu dunam (10 juta meter persegi) lahan pertanian kini tidak dapat diakses oleh pemiliknya. Sekitar 80 persen dari lahan subur Beit Lahia (yang dulu dikenal sebagai lumbung pangan Gaza dengan hasil stroberi, kentang, tomat, dan sayuran lain) kini berada di dalam zona terlarang di balik garis kuning.

“Tanah itu dulu memberi makan seluruh Gaza,” kata Al-Attar. “Sekarang, hanya burung dan tank yang menapakinya.”

Gencatan Senjata di Atas Kertas

Meski gencatan senjata telah diumumkan, catatan resmi otoritas Gaza menunjukkan lebih dari 125 pelanggaran Israel sejak kesepakatan itu berlaku. Di antaranya, 52 kali tembakan langsung ke arah warga sipil dan 10 kali operasi militer terbuka di luar garis kuning.

Di Gaza Utara, gencatan senjata terasa seperti ironi pahit. Warga tak lagi mendengar dentuman bom besar, tetapi tembakan kecil yang teratur tetap mengingatkan mereka: perang belum benar-benar berakhir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here