Harian The Guardian melaporkan bahwa Israel menjalankan strategi terencana untuk “memusnahkan narasi Palestina” dengan menargetkan dan membunuh jurnalis di Gaza. Menurut laporan itu, Israel menggelar dua kampanye sekaligus: satu untuk menguasai wilayah secara militer, dan satu lagi untuk mengendalikan cerita yang sampai ke dunia tentang apa yang terjadi di Gaza.
Penulis dan koresponden The Guardian untuk Timur Tengah, Emma Graham-Harrison, menekankan pentingnya liputan jurnalis Palestina, terutama ketika jurnalis internasional dilarang meliput secara independen. Hanya segelintir wartawan asing yang diizinkan masuk, itu pun di bawah pengawalan militer Israel, tanpa kebebasan bergerak atau berbicara dengan warga Palestina.
Graham-Harrison menyebut pembunuhan langsung terhadap jurnalis Palestina (termasuk wartawan Al Jazeera Anas Al-Sharif, Mohammed Qreiqa, dan empat lainnya) sebagai bagian dari kampanye intimidasi untuk menghentikan liputan. Israel, kata dia, kerap membenarkan pembunuhan ini dengan tuduhan palsu bahwa korban adalah “pejuang rahasia” Hamas.
Ia mengingatkan momen ketika Anas Al-Sharif roboh di siaran langsung saat meliput krisis kelaparan akibat blokade Israel. Tak lama kemudian, juru bicara militer Israel kembali menyebarkan klaim lama bahwa Al-Sharif bersenjata dan menuduhnya memalsukan liputan kelaparan sebagai bagian dari “kampanye bohong Hamas”.
Bukti yang Lemah dan Kontradiktif
Israel juga menerbitkan dokumen yang diklaim mengaitkan Al-Sharif dengan Hamas, meski dokumen itu hanya mencakup periode hingga 2021 (dua tahun sebelum perang) dan tidak menyinggung perannya sebagai jurnalis yang kerap tampil di siaran langsung. Klaim serupa pernah digunakan untuk membenarkan pembunuhan wartawan Al Jazeera Ismail Al-Ghoul, termasuk tuduhan tak masuk akal bahwa ia memiliki pangkat militer sejak berusia 10 tahun.
Menurut Graham-Harrison, dokumen-dokumen ini lebih mencerminkan kekhawatiran Israel akan tekanan dari sekutu Barat jika liputan media terus mengungkap kejahatan yang dilakukan di Gaza.
Strategi Menghalangi Kesaksian dari Lapangan
Jodie Ginsberg, Direktur Eksekutif Committee to Protect Journalists (CPJ), mengatakan bahwa larangan liputan internasional, pembunuhan jurnalis, penyerangan fasilitas media, hingga pembungkaman media Israel seperti Haaretz merupakan bagian dari strategi terencana untuk menutupi apa yang terjadi di Gaza.
Ginsberg mencontohkan, Israel pernah mencegah kru BBC merekam kerusakan Gaza saat mereka ikut penerbangan militer Yordania yang menjatuhkan bantuan kemanusiaan. Hanya proses penjatuhan bantuan yang boleh direkam, bukan kehancuran di darat yang sesuai dengan narasi Palestina dan bertolak belakang dengan narasi resmi Israel.
Ia juga menyoroti pembunuhan lima kolega Al-Sharif yang jelas-jelas berstatus jurnalis. “Yang mengejutkan, mereka bahkan tidak berusaha memberi pembenaran. Mereka mengakui membunuhnya sambil mengetahui bahwa mereka adalah jurnalis,” kata Ginsberg.
Pesan Teror dan Impunitas
Artikel The Guardian menutup dengan pertanyaan retoris: jika Israel kini bisa menargetkan satu tim liputan secara terang-terangan, apa artinya bagi keselamatan jurnalis lain di Gaza? Siapa yang akan menjadi korban berikutnya?
Sebuah studi yang dirilis Pusat Studi Al Jazeera tahun lalu menyimpulkan bahwa penghancuran infrastruktur media di Gaza bukanlah dampak sampingan perang, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk menghapus narasi Palestina. Targetnya: jurnalis muda berusia 20–40 tahun, institusi media, dan setiap titik di mana mereka bekerja (bahkan di rumah sakit dan tenda) demi membungkam suara mereka untuk selamanya.