Spirit of Aqsa- Amerika Serikat tengah menyelidiki laporan yang menyebut militer Israel menggunakan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk membombardir Jalur Gaza.
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengaku sangat miris atas laporan yang menyebut bahwa Israel telah menggunakan teknologi AI saat melakukan pengeboman.
AI digunakan untuk mengidentifikasi target yang mengakibatkan korban masyarakat sipil Gaza semakin banyak.
“Saya sangat prihatin dengan laporan bahwa pengeboman militer Israel menggunakan AI,” kata Guterres melalui cuitan di akun X atau Twitternya, dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu (6/4).
Guterres menegaskan teknologi seperti AI harusnya digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, bukan untuk mengobarkan perang yang membuat semakin banyaknya korban masyarakat sipil.
Amerika Serikat juga segera turun tangan atas laporan yang mengatakan bahwa teknologi AI telah digunakan militer Israel untuk melakukan pengeboman di Gaza.
Juru Bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan pihaknya saat ini tengah menyelidiki laporan yang pertama kali diungkap oleh salah satu media.
Mengutip Reuters, +972 Magazine menyebutkan bahwa tentara Israel telah menandai puluhan ribu warga Gaza sebagai tersangka pembunuhan. Mereka melakukan ini dengan menggunakan sistem AI.
Dalam laporan di media itu dikatakan bahwa tentara Israel telah mengembangkan program berbasis kecerdasan buatan yang dikenal sebagai “Lavender,”.
Menurut enam perwira intelijen Israel, yang semuanya pernah bertugas di militer selama perang di Jalur Gaza dan terlibat langsung dalam penggunaan AI untuk menghasilkan target pembunuhan, Lavender telah memainkan peran penting dalam pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya di Israel.
Secara formal, sistem Lavender dirancang untuk menandai semua tersangka anggota sayap militer Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ), termasuk mereka yang berpangkat rendah, sebagai target pemboman potensial.
Selama minggu-minggu pertama perang, tentara hampir sepenuhnya bergantung pada Lavender, yang mencatat sebanyak 37.000 warga Palestina sebagai tersangka militan – dan rumah mereka – untuk kemungkinan serangan udara.
Meskipun beberapa bukti telah muncul ke permukaan, militer Israel dengan tegas menolak klaim tersebut. Dalam pernyataannya Juru Bicara IDF membantah penggunaan kecerdasan buatan dan mengatakan bahwa ini hanyalah “alat bantu yang membantu petugas dalam proses mencari target.”
Pernyataan tersebut melanjutkan: “Bagaimanapun, pemeriksaan independen oleh analis (intelijen) diperlukan, yang memverifikasi bahwa target yang diidentifikasi adalah target serangan yang sah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam arahan IDF dan hukum internasional.”
Namun, sumber mengatakan bahwa satu-satunya protokol pengawasan manusia yang diterapkan sebelum mengebom rumah tersangka militan yang ditandai dengan Lavender adalah dengan melakukan satu pemeriksaan: memastikan bahwa target yang dipilih AI adalah laki-laki dan bukan perempuan.
Asumsi di kalangan tentara adalah jika sasarannya perempuan, kemungkinan besar mesinnya salah, karena tidak ada perempuan di jajaran sayap militer Hamas dan PIJ.