Spirit of Aqsa– Israel menggunakan air sebagai senjata mematikan untuk warga sipil Palestina di Jalur Gaza. Israel telah menutup perbatasan yang memungkikan bantuan masuk, sumber air juga menjadi sasaran pengeboman, sehingga krisis air tak bisa terhindarkan di daerah kantong Palestina tersebut.
Para pengungsi di Gaza harus antre panjang untuk mendapatkan sedikit air bersih yang layak minum, menambah penderitaan terutama bagi anak-anak, lansia, dan wanita.
Anak-anak dan orang dewasa terpaksa membawa wadah kosong dan berjalan jauh dengan risiko terkena serangan untuk mencari seteguk air yang dapat menyelamatkan hidup mereka di tengah serangan dan pengepungan yang terus berlanjut.
Pertengahan bulan ini, Pemerintah Kota Gaza mengungkapkan skala krisis air yang dialami oleh wilayah tersebut dan memaparkan kerusakan yang disebabkan oleh serangan Israel terhadap sektor vital ini, yang mengancam seluruh aspek kehidupan di Gaza.
Pemerintah Kota Gaza melaporkan kerusakan parah pada tangki air di daerah Tel al-Hawa akibat serangan Israel. Mereka menyatakan bahwa serangan tersebut telah menyebabkan kerusakan besar pada fasilitas air sejak awal serangan dan perang pemusnahan, termasuk kerusakan pada sekitar 40 sumur dan 42.000 meter jaringan pipa air.
Kota Gaza mengalami kekurangan air yang parah karena kurangnya bahan bakar dan pemadaman listrik yang diperlukan untuk mengoperasikan sumur air.
Krisis air di Gaza diperparah setelah serangan militer Israel di Rafah, yang memperburuk kondisi kemanusiaan di tengah kehidupan yang keras dan suhu yang tinggi.
Para pengungsi, termasuk anak-anak dan lansia, terpaksa membawa galon dan gerobak kecil untuk mendapatkan air, sementara ribuan wanita terpaksa menggunakan air laut untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Ratusan ribu pengungsi yang dipaksa meninggalkan Rafah mendirikan tenda di daerah seperti barat laut Rafah, kota Khan Younis yang hancur, dan pantai di tengah Gaza, namun mereka menghadapi krisis air yang parah karena lebih dari 70 persen infrastruktur di Gaza, yang dihuni oleh 2,3 juta orang, hancur oleh serangan Israel.
Najwa Mohammad, seorang pengungsi yang telah mengalami pengusiran paksa untuk keenam kalinya, mengatakan, “Sekarang saya tidak bisa membeli air atau mendapatkannya dari tempat yang jauh, jadi saya bergantung pada air laut untuk mencuci pakaian dan peralatan masak.”
Dia menjelaskan, “Sejak kami diusir oleh Israel dari Gaza, krisis air tidak pernah berakhir. Bahkan ketika kami pindah ke Khan Younis sebelum Israel menyerbu, kami kesulitan mendapatkan air, begitu juga di Rafah.”
Mohammad menambahkan, “Setelah kami diusir dari Rafah, kami tidak punya tempat lain kecuali pantai, dan air sangat sedikit serta banyak orang. Kami membeli satu galon air bersih seharga empat shekel (sekitar 1 dolar), kadang-kadang organisasi internasional membagikan air gratis tetapi itu tidak cukup untuk semua pengungsi yang berdesakan.”
Menurut angka terbaru dari UNRWA (Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina), sekitar 810.000 warga Palestina telah dipaksa mengungsi dari Rafah dalam dua minggu terakhir.
Karena serangan Israel, jatah air per kapita di Gaza turun 97%, menurut laporan bersama dari Badan Pusat Statistik Palestina dan Otoritas Air Palestina dalam rangka Hari Air Sedunia, akhir Maret lalu. Laporan tersebut menyebutkan bahwa perang menyebabkan jatah air per orang di Gaza turun menjadi 3 hingga 15 liter per hari, dibandingkan dengan rata-rata 84,6 liter per orang per hari pada tahun 2022.
Saat ini, total air yang tersedia di Gaza hanya sekitar 10 hingga 20 persen dari total air yang tersedia sebelum serangan, dan jumlah ini bergantung pada ketersediaan bahan bakar. Gaza sangat bergantung pada air yang diambil dari sumber air tanah.
Pada awal tahun ini, majalah “972+” melaporkan bahwa sejak awal perang, Israel menciptakan krisis kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan melarang warga Gaza mendapatkan air bersih, yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki.
Majalah tersebut mengingatkan peringatan dari Pelapor Khusus PBB, Pedro Arrojo-Agudo, yang mengatakan bahwa Israel “harus berhenti menggunakan air sebagai senjata perang,” dan menyatakan bahwa jumlah korban akibat kekurangan air bisa melebihi jumlah korban dari serangan itu sendiri.
Majalah tersebut menyatakan bahwa melarang Gaza dari akses air, yang disebutnya sebagai senjata pemusnah massal, adalah taktik utama dalam perang ini sejak awal. Israel menutup pipa yang memasok air ke Gaza pada 7 Oktober 2023, dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengumumkan bahwa Israel “memberlakukan blokade total di Gaza: tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada bahan bakar. Semua ditutup. Kami melawan manusia hewan, dan kami bertindak berdasarkan hal itu.”