Di kursi rodanya, Hanin al-Mabhuh menggantungkan mimpi-mimpi yang kini terasa jauh: membangun kembali keluarga, memeluk seorang anak, dan—yang paling sederhana—berjalan lagi. Namun sejak kehilangan kakinya, hidupnya di Gaza seolah berhenti. Sambil menanti izin keluar negeri untuk perawatan lanjutan, ia berkata pelan, “Sejak kakiku pergi, hidupku ikut terhenti.”
Pada Juli tahun lalu, serangan udara Israel menghancurkan rumah keluarganya di Gaza tengah ketika mereka terlelap. Keempat putrinya syahid, termasuk bayi berusia lima bulan yang berada dalam gendongannya. Suaminya mengalami luka bakar berat. Hanin sendiri tertimbun reruntuhan; kedua kakinya hancur, dan dokter terpaksa mengamputasi kaki kanannya hingga di atas lutut.
Di tengah gencatan senjata yang telah berlangsung dua bulan, bantuan untuk ribuan warga Palestina yang mengalami amputasi akibat perang Israel dua tahun terakhir datang tersendat. World Health Organization memperkirakan terdapat sekitar 5.000–6.000 amputan akibat perang, seperempat di antaranya adalah anak-anak. Mereka yang selamat kini menghadapi tantangan baru: ketiadaan alat bantu, minimnya layanan rehabilitasi, dan lambannya evakuasi medis ke luar Gaza.
WHO menyebut satu pengiriman besar alat dan bahan prostetik akhirnya masuk ke Gaza—yang disebut sebagai kiriman signifikan pertama dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, hampir tidak ada prostesis siap pakai atau bahan pembuatannya yang diizinkan masuk sejak perang dimulai. Kepala program disabilitas Medical Aid for Palestinians, bersama pengelola pusat prostetik di Gaza, menegaskan bahwa pembatasan dan prosedur berlapis membuat pasokan nyaris tak bergerak.
Otoritas militer Israel yang mengoordinasikan bantuan, COGAT, tidak memberikan jawaban ketika dimintai keterangan mengenai jumlah pasokan prostetik yang masuk atau kebijakan mereka terkait alat bantu tersebut.
“Masa Depanku Lumpuh”
Hanin bercerita, ia tertidur dengan bayinya di pelukan saat bom menghantam rumah di Nuseirat. Selama berminggu-minggu dirawat di rumah sakit, ia tak mengetahui bahwa bayinya telah syahid. Ia menjalani sejumlah operasi, masih kesulitan menggerakkan tangan, dan kaki yang tersisa dipasang penyangga logam. Ia membutuhkan cangkok tulang dan perawatan lanjutan yang hanya tersedia di luar Gaza. Namanya telah tercantum dalam daftar evakuasi medis selama 10 bulan—namun izin tak kunjung datang.
“Aku berhak hidup, berhak punya anak lagi, berhak berjalan,” katanya. “Sekarang masa depanku lumpuh. Mereka menghancurkan mimpiku.”
Evakuasi Medis yang Tersendat
Gencatan senjata hanya sedikit meningkatkan laju evakuasi medis bagi sekitar 16.500 warga Palestina yang menunggu perawatan vital di luar negeri, menurut PBB. Hingga 1 Desember, hanya 235 pasien yang dievakuasi sejak gencatan senjata berlaku—rata-rata lima orang per hari, naik tipis dari sekitar tiga orang per hari sebelumnya.
Israel menyatakan kesiapan mengizinkan pasien keluar melalui Rafah. Namun realisasinya masih abu-abu, sebab Mesir menuntut agar perlintasan dibuka dua arah sesuai kesepakatan. Perwakilan WHO di wilayah Palestina mengatakan penumpukan pasien juga dipicu minimnya negara yang bersedia menerima evakuasi, seraya menekankan perlunya jalur baru—termasuk ke Tepi Barat dan Al-Quds Timur—yang memiliki rumah sakit siap pakai.
Bagi mereka yang menunggu, waktu berjalan lambat, nyaris berhenti.
Yasin Ma’ruf (23) terbaring di sebuah tenda di Gaza tengah. Kaki kirinya telah diamputasi, sementara kaki kanan nyaris tak tertopang oleh penyangga logam. Ia terluka dalam serangan Mei lalu ketika pulang dari menengok rumah keluarga di Gaza utara; saudaranya syahid. Saat tergeletak kehabisan darah, seekor anjing liar menggigit kaki kirinya yang robek. Dokter memperingatkan, kaki kanannya juga terancam amputasi bila ia tak segera menjalani operasi di luar Gaza.
Ma’ruf tak mampu membeli pereda nyeri dan sulit mengakses rumah sakit untuk mengganti perban. “Ke kamar mandi saja, aku butuh dua atau tiga orang untuk mengangkatku,” ujarnya.
Muhammad al-Najjar (21), mahasiswa teknologi informasi Universitas Palestina, kehilangan kaki kiri akibat serpihan bom tujuh bulan lalu. Kaki kanannya terluka parah, serpihan masih bersarang di tubuhnya. Empat operasi dan terapi belum memulihkan mobilitasnya. “Aku ingin keluar, memakai kaki prostetik, lulus kuliah, dan hidup normal seperti anak muda di luar Gaza,” katanya.
Krisis Alat Bantu yang Menahun
WHO mencatat sekitar 42.000 warga Palestina mengalami cedera yang mengubah hidup—amputasi, cedera otak dan tulang belakang, hingga luka bakar parah. Meski ada sedikit perbaikan, kekurangan alat bantu tetap akut: kursi roda, alat jalan, tongkat, hingga prostetik. Gaza hanya memiliki delapan spesialis prostetik.
Salah satu dari dua pusat prostetik yang masih beroperasi menyebut stok menipis. Selama perang, mereka hanya mampu melayani sekitar 250 kasus. Tidak ada prostetik siap pakai yang masuk; prosedur yang berbelit membuat pengiriman tertunda dan kerap terabaikan.
Ibrahim Khalif berharap mendapat kaki kanan prostetik agar bisa bekerja serabutan demi menghidupi istri yang hamil dan anak-anaknya. Januari lalu, kakinya hilang saat serangan udara menghantam Kota Gaza ketika ia mencari makanan. “Dulu aku tulang punggung keluarga,” katanya. “Sekarang aku duduk di sini, bertanya-tanya: siapa aku dulu, dan apa jadinya sekarang.”
Di Gaza, kehilangan anggota tubuh bukan akhir dari luka—ia adalah awal dari perjuangan panjang di tengah kekurangan, penantian, dan masa depan yang terus ditunda.
Sumber: Associated Press dan media Jerman










