Sejak 21 Januari, Israel meluncurkan operasi militer bertajuk “Tembok Besi” di Tepi Barat. Di balik eskalasi ini, muncul fakta mengerikan: para pemukim Yahudi tak lagi sekadar didampingi tentara, mereka telah berubah menjadi milisi yang bersenjata dan bertindak dengan restu, bahkan dukungan, dari militer Israel sendiri.

Hubungan antara pemukim dan tentara pendudukan kini bukan hanya simbiosis, melainkan kemitraan strategis. Senjata dibagikan, pelatihan diberikan, dan kekebalan hukum dijamin. Para pemukim kini menjalankan kejahatan atas nama proyek kolonial, mengusir, menghancurkan, dan membungkam warga Palestina—dengan pasukan resmi negara sebagai pelindungnya.

Militerisasi Pemukim: Strategi Sistemik, Bukan Kebetulan

Meski secara doktrin militer hal ini bukan bagian dari kebijakan resmi, kenyataannya, dominasi kelompok sayap kanan religius dalam pemerintahan Israel telah mendorong praktik ini menjadi norma. Laporan Foreign Policy menyebut bahwa militer Israel menjalankan semacam “pasukan polisi bayangan” di Tepi Barat, terdiri dari tentara, polisi perbatasan, dan pemukim bersenjata yang telah mendapatkan pelatihan khusus.

Di lapangan, ini berarti satu hal: kekuasaan dan senjata berada di tangan kelompok pemukim, dengan target yang jelas—memaksa warga Palestina pergi, dan menyerap wilayah-wilayah pendudukan secara de facto. Laporan New Yorker bahkan menyebut hingga 70% pemukim laki-laki di beberapa wilayah adalah tentara cadangan yang aktif berlatih bersama militer.

Senjata dan Kekebalan: Pemukim Jadi Pasukan Bayangan

Dalam dua tahun terakhir, kementerian yang dipimpin oleh tokoh-tokoh ekstremis seperti Ben Gvir dan Smotrich telah mendorong masifnya distribusi senjata ke tangan para pemukim. Ribuan senjata otomatis dibagikan. Puluhan ribu warga Israel mengajukan izin membawa senjata setelah Operasi Badai Al-Aqsa.

Akibatnya? Lahirnya milisi bersenjata yang secara terbuka melakukan kekerasan sistematis terhadap warga Palestina (membakar rumah, menyerang desa, bahkan menembaki pengungsi) semua di bawah perlindungan tentara. Statistik mengerikan menunjukkan: 70% serangan pemukim menggunakan senjata militer resmi. 80% pelaku pernah dilatih oleh tentara. 85% serangan di Hebron, misalnya, melibatkan granat gas dari gudang militer.

Militer dan Negara: Kompak Membiarkan Kekerasan Berlanjut

Alih-alih menindak, institusi negara justru melindungi mereka. Dari 100 lebih kasus kekerasan pemukim yang diselidiki, 94% dihentikan tanpa dakwaan. Hanya 2% serangan yang ditindak oleh militer. Bahkan, pengadilan pidana internasional telah mengklasifikasikan sejumlah insiden sebagai kejahatan perang.

Lebih dari 400 insiden tercatat dalam 6 bulan pertama 2025 saja. Korbannya: warga sipil, anak-anak, perempuan, para petani yang diusir dari lahannya. Semua ini, kata saksi-saksi lapangan, terjadi di depan mata tentara yang justru mencegah ambulans mengevakuasi korban.

Hukum Internasional Dilanggar Secara Terang-Terangan

Koordinasi militer dengan kelompok sipil bersenjata melanggar hukum internasional secara langsung, mulai dari Konvensi Jenewa ke-4 hingga Statuta Roma. Bahkan keberadaan pemukim itu sendiri di wilayah pendudukan sudah ilegal. Dukungan militer terhadap mereka hanya memperkuat karakter kolonial dan kekerasan rezim pendudukan Israel.

Putusan Mahkamah Internasional pada Juli 2024 dengan tegas menyebut kolaborasi ini sebagai pelanggaran berat terhadap Pasal 49 Konvensi Jenewa, sementara Dewan HAM PBB menggolongkannya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Perlawanan Warga: Dari Kamera hingga Perlawanan Bersenjata

Warga Palestina tidak tinggal diam. Dalam dua tahun terakhir, terbentuk 750 komite perlindungan sipil di desa-desa. Gerakan Boikot Israel (BDS) mendorong 20 perusahaan keluar dari proyek pemukiman. Sementara aktivis HAM meluncurkan sistem drone dokumentasi pelanggaran, meski 100 perangkat disita Israel.

Di sisi lain, aksi bersenjata meningkat 60% di zona kontak dengan pemukim. Meski Israel menyebutnya terorisme, hukum internasional mengakui perlawanan terhadap pendudukan sebagai hak sah.

Tiga Skenario Masa Depan: Arah Konflik ke Mana?

  1. Aneksasi dan Pemindahan Massal: Israel menargetkan mencaplok 70% wilayah Tepi Barat sebelum 2030. Sebanyak 150 ribu warga Palestina bisa terusir, dan 15 ribu unit pemukiman baru sedang dirancang.
  2. Perlawanan Total: Survei menunjukkan 85% generasi muda Palestina mendukung perlawanan bersenjata. Konflik skala besar bisa meletus.
  3. Tekanan Internasional: Meski sebagian besar sanksi Barat bersifat simbolik, 140 negara telah mengutuk pemukiman sebagai ilegal. Pengumpulan bukti dan kasus di Mahkamah Internasional terus bertambah.

Namun, tantangan tetap besar. AS kerap memveto resolusi PBB soal pemukiman, dan sebagian besar sanksi Eropa tidak efektif. Meski begitu, perlahan, fondasi impunitas Israel mulai retak. Dunia internasional tak lagi bisa berpura-pura tak melihat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here