Di Kamp Nuseirat, Gaza tengah, berdiri RS Al-Awda, rumah sakit yang menjadi simbol keteguhan dan solidaritas masyarakat. Di tengah blokade ketat dan kelangkaan sumber daya, Al-Awda tetap tegak memberikan pelayanan medis dasar lintas spesialisasi. Ia bukan sekadar rumah sakit, melainkan penopang utama kesehatan masyarakat, menyambut pasien setiap hari, termasuk mereka yang terluka akibat serangan tanpa henti.

Dengan dukungan lembaga internasional seperti UNICEF, OCHA, serta kerjasama erat dengan Kementerian Kesehatan Palestina, RS Al-Awda diakui sebagai rumah sakit swasta yang vital. Di saat fasilitas lain lumpuh, Al-Awda tetap menjadi garis depan penyelamat nyawa.

Lonjakan Pasien, Beban yang Tak Tertanggungkan

Sejak agresi Israel dimulai pada Oktober 2023 hingga Juli 2024, rumah sakit ini telah menangani lebih dari 456 ribu pasien, serta menyelamatkan 22.500 korban luka. Dalam periode yang sama, tercatat 182 ribu layanan kesehatan reproduksi, 13 ribu persalinan normal, dan hampir 4.600 operasi caesar.

Jumlah operasi pun mencengangkan: hampir seribu operasi ortopedi, ribuan bedah ginekologi, ratusan operasi urologi hingga THT—semua dijalankan di bawah tekanan kekurangan obat, alat, dan tenaga medis.

Tak hanya di ruang operasi, 165 ribu layanan perlindungan masyarakat juga diberikan bagi kelompok paling rentan dari dampak perang.

Namun, ketika gelombang pengungsi dari Gaza utara memadati wilayah tengah, beban RS Al-Awda melonjak tak terkira. Kapasitasnya yang hanya 140 ranjang sering kali meledak, terpaksa menampung pasien jauh di luar batas kemampuannya.

Suara dari Dalam: “Layanan kesehatan adalah hak semua orang”

“RS Al-Awda adalah satu-satunya yang tetap buka ketika fasilitas lain tutup. Kami melayani Nuseirat, Bureij, hingga Maghazi. Prinsip kami jelas: layanan kesehatan adalah hak setiap orang, terutama mereka yang terpinggirkan,” ujar dr. Yasser Saaduddin, Direktur Medis RS Al-Awda.

Ia menegaskan, rumah sakit ini kini menjadi satu-satunya pusat layanan ibu dan anak di Gaza tengah, setelah bagian serupa di RS Syuhada al-Aqsa tutup. Dalam kondisi perang, jumlah persalinan melonjak hingga 40 kasus per hari, memaksa rumah sakit berpikir keras untuk memperluas fasilitas.

Setiap hari, Al-Awda menerima 1.300–1.500 pasien rawat jalan, melakukan lebih dari 60 operasi, dan mengerahkan 490 tenaga medis, banyak di antaranya bekerja dengan kontrak atau sebagai relawan.

Perempuan dan Anak dalam Ancaman

Situasi paling genting kini terjadi di bagian gizi anak. Dengan penutupan perbatasan dan kelangkaan suplai makanan, kasus malnutrisi akut meroket, khususnya pada anak balita serta ibu hamil dan menyusui.

“Situasi ini memicu peningkatan keguguran, kelahiran prematur, bayi lahir cacat, hingga kematian ibu dan anak,” jelas dr. Ranna Zueiter, Kepala Departemen Nutrisi. Ia menggambarkan kondisi anak-anak yang datang “seperti kerangka hidup”, kurus kering, perut buncit, atau cacat bawaan yang memerlukan perawatan intensif.

Al-Awda: Nama yang Jadi Harapan

Di tengah kekurangan, tenaga medis Al-Awda tetap bekerja 24 jam tanpa henti, menahan lapar dan rasa takut yang sama dengan rakyat Gaza lainnya.

“Rumah sakit ini adalah satu-satunya pelabuhan terakhir bagi kami,” kata Fawziya Salman, seorang ibu yang menemani anaknya dirawat. Pernyataan itu senada dengan kesaksian Amira al-Maghari, pasien di ruang bersalin: “Keberadaan rumah sakit ini adalah tali keselamatan bagi para ibu hamil di Gaza.”

RS Al-Awda bukan sekadar bangunan medis. Ia adalah napas kehidupan di tengah pengepungan, benteng yang menegaskan bahwa meski Gaza dikepung, semangat kemanusiaannya tak pernah padam.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here