Israel terus melakukan pembantaian berdarah terhadap warga Gaza sejak kembali melanjutkan perang pada 18 Maret lalu. Di tengah agresi ini, muncul pertanyaan mengenai langkah yang harus diambil oleh dunia Arab dan Islam untuk menghentikan ambisi ekspansionis Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Menurut mantan Presiden Tunisia, Moncef Marzouki, Israel ingin memaksakan kepasrahan pada dunia Arab, sementara keamanan nasional Arab kini berada dalam ancaman besar akibat ambisi Netanyahu. Namun, dalam wawancara dengan program Masar Al-Ahdath, Marzouki yakin bahwa jika para pemimpin Arab bersatu, mereka memiliki kekuatan untuk menghentikan Israel dan mengendalikan agresinya terhadap rakyat Palestina. Ia memperkirakan bahwa perang akan terus berlanjut kecuali ada kebangkitan rakyat dan langkah tegas dari para pemimpin Arab dalam momen sejarah ini.
Marzouki menegaskan bahwa Israel dan sekutunya di Barat menginginkan Hamas untuk menyerah, tetapi Hamas lebih memilih bertarung hingga akhir daripada tunduk. Oleh karena itu, ia menyerukan sikap Arab yang lebih tegas dan bersatu. Menurutnya, demonstrasi massal setelah salat Jumat bisa menjadi titik balik untuk menghentikan perang serta menyampaikan pesan solidaritas kepada rakyat Gaza bahwa dunia Arab dan Islam tidak akan meninggalkan mereka sendirian menghadapi kebrutalan Israel.
Sebagai bagian dari langkah konkret, Marzouki meminta negara-negara Arab dan Islam untuk mengusir duta besar Israel serta memutus hubungan diplomatik dengannya. Selain itu, ia juga mendesak agar militer Arab disiagakan, mengingat Netanyahu memiliki ambisi yang lebih besar dari sekadar Gaza dan Tepi Barat.
Berdasarkan laporan terbaru Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah korban syahid sejak 7 Oktober 2023 telah melampaui 50.000 jiwa—sepertiga di antaranya adalah anak-anak—dengan lebih dari 113.000 orang terluka.
Marzouki juga berpendapat bahwa Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump tidak peduli dengan keputusan yang dihasilkan dari berbagai KTT Arab selama perang. Menurutnya, kekuatan politik, ekonomi, dan militerlah yang saat ini menentukan legitimasi global. Ia menegaskan bahwa Israel kini semakin terang-terangan dalam menunjukkan ambisi ekspansionisnya di beberapa negara Arab dan memperingatkan bahwa bergabung dalam Abraham Accords tidak akan melindungi negara-negara Arab dari rencana Israel dan AS yang mengancam kedaulatan, eksistensi, serta stabilitas mereka.
“Kondisi yang Rapuh”
Sementara itu, pakar ilmu politik dari Universitas Kuwait, Dr. Abdullah Al-Shayji, mendesak negara-negara Arab untuk mengirimkan pesan tegas ke Gedung Putih bahwa mereka menolak “pemusnahan sebuah bangsa dan perubahan demografi melalui pembersihan etnis di Gaza dan Tepi Barat.”
Al-Shayji mengkritik pernyataan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, yang mengatakan bahwa perang akan berhenti jika Hamas membebaskan tawanan dan meletakkan senjata. Ia menyebutnya sebagai “upaya menghindari masalah” dan mempertanyakan apa yang akan terjadi setelah perang ini berakhir, karena masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Ia menyayangkan sikap diam dunia, terutama negara-negara Muslim dan Arab, terhadap genosida dan pembersihan etnis yang disiarkan secara langsung. Ia menegaskan bahwa keputusan Netanyahu untuk melanjutkan perang tidak memiliki justifikasi yang jelas dan menyoroti bahwa Netanyahu, serta pemerintahan Joe Biden dan Donald Trump, tidak memperdulikan hasil dari KTT Arab terkait perang di Gaza.
Menurut Kantor Media Pemerintah di Gaza, wilayah tersebut kini memasuki tahap kritis akibat blokade ketat dan penutupan perbatasan. Israel sengaja mencegah masuknya obat-obatan, perlengkapan medis, suku cadang untuk generator listrik rumah sakit, serta menghalangi ratusan dokter dan tim medis untuk memasuki Gaza.
Selain itu, Israel juga menerapkan kebijakan kelaparan dan dehidrasi paksa, yang telah menyebabkan meningkatnya kasus malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak, serta penghancuran lebih dari 700 sumur air.
Al-Shayji menilai bahwa sistem internasional saat ini tidak mampu menangani krisis ini karena adanya standar ganda Eropa. Ia juga menyebut bahwa kondisi dunia Arab sangat rapuh, sementara agresi Israel di Gaza serta rencana Netanyahu membahayakan keamanan nasional Mesir, Lebanon, dan Suriah.
Terkait operasi Thufan Al-Aqsa, akademisi Kuwait ini menegaskan bahwa serangan tersebut telah menggagalkan agenda normalisasi dengan Israel serta menghancurkan citra “demokrasi Israel” yang selama ini diklaim oleh rezim Zionis.