Para analis politik sepakat bahwa strategi terbaru yang dilancarkan kelompok perlawanan Palestina telah menciptakan tekanan serius terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (tersangka Pengadilan Kriminal Internasional) untuk mempertimbangkan kesepakatan komprehensif guna menghentikan perang di Gaza.
Dalam tayangan terbaru Al Jazeera, Brigade al-Qassam memperlihatkan cuplikan penghancuran dua kendaraan lapis baja milik militer Israel dalam sebuah penyergapan rumit di Khan Younis, Gaza selatan. Serangan itu menewaskan 7 tentara Israel, termasuk satu perwira.
Skenario Baru: Gencatan Senjata dan Pemilu
Menurut penulis dan analis politik Israel, Yoav Stern, serangkaian peristiwa ini membuka peluang bagi skenario besar yang bisa terwujud dalam waktu dekat, bahkan dalam satu atau dua pekan ke depan.
Dalam wawancaranya di program Masar al-Ahdath, Stern mengatakan bahwa skenario ini bisa ditutup dengan kunjungan Netanyahu ke Washington.
Dia menjelaskan, kesepakatan itu kemungkinan mencakup gencatan senjata permanen, pertukaran tahanan, dan bahkan penarikan militer Israel dari Gaza.
Stern juga menyebut adanya kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan mendorong amnesti politik untuk Netanyahu guna menghindarkannya dari jeratan hukum, yang bisa dikaitkan dengan langkah menuju pemilu dini.
Tekanan Terbesar: Kembalinya Perlawanan
Para analis menegaskan bahwa kembalinya kekuatan perlawanan Palestina yang belakangan menunjukkan efektivitas operasi militernya telah menjadi faktor kunci dalam perubahan dinamika konflik.
Analis politik Iyad al-Qarra menilai bahwa operasi militer terbaru telah menunjukkan “pencapaian luar biasa” dari perlawanan, yang memukul kepercayaan publik Israel terhadap kemampuan tentaranya.Ia menyebutkan bahwa publik Israel mulai mempertanyakan arah dan tujuan perang ini.
“Jika yang dicari hanya 20 tentara Israel yang masih hidup di Gaza, kenapa justru mereka pulang dengan 28 jenazah, beberapa di antaranya hangus tak bersisa?” tanyanya.
Dilema Militer dan Kebuntuan Operasi
Dari perspektif militer, pensiunan jenderal Elias Hanna menegaskan bahwa militer Israel kini menghadapi keterbatasan operasional.
Ia menyebutkan bahwa “tidak semua unit bisa bertempur secara bersamaan di Gaza,” dan bahwa strategi tempur Israel saat ini tidak mampu membentuk serangan darat dan udara terpadu yang efektif.
“Jenis perang ini sangat berbeda. Ia butuh waktu, kesabaran, dan kondisi medan yang tidak dimiliki Israel,” ujarnya.
Menurutnya, perlawanan Palestina masih punya tiga senjata utama: tekad, sarana, dan perlindungan bawah tanah. Bahkan, hingga saat ini, terowongan perlawanan yang dihancurkan belum mencapai 30 persen.
Netanyahu Dikepung Tekanan Internal
Seiring dengan tekanan militer, para analis juga menyoroti tekanan politik dalam negeri yang semakin kuat terhadap Netanyahu dari dalam koalisi pemerintahannya sendiri.
Menurut pengamat urusan Israel, Ihab Jabarin, Netanyahu kini menghadapi tembok realitas. Ia menilai bahwa selama ini Netanyahu lebih sering “lari ke depan” melalui manuver militer untuk menutupi krisis politik dan hukum yang dihadapinya.
Jabarin menyebutkan bahwa Netanyahu kini dihadapkan pada tiga opsi krusial:
1. Kemampuan bermanuver secara politik;
2. Dukungan dan alat bantu dari Washington;
3. Sejauh mana ia bersedia membayar harga politik berupa konsesi nyata.
Dia menilai bahwa Israel kini lebih dekat ke pemilu dini, namun menyisakan pertanyaan penting: apakah yang datang adalah kesepakatan dan pemilu, atau justru eskalasi di Gaza yang meledakkan segalanya?
Sinyal dari Washington
Di level internasional, al-Qarra menyebut bahwa Amerika Serikat mulai membuka telinga terhadap suara-suara dari pihak Hamas terkait Gaza.
Ia menyebut, “Masalah Gaza tidak bisa lagi diabaikan.” Tapi pernyataan politik saja tidak cukup.
“Kunci perubahan ada pada Netanyahu: apakah ia bersedia mengirim delegasi ke Doha atau Kairo? Jika ya, kesepakatan bisa selesai dalam 24 jam,” pungkasnya.
Sumber: Al Jazeera