Israel kini berdiri di hadapan labirin militer dan strategi yang rumit. Rencana untuk menaklukkan dua benteng terakhir Hamas di Jalur Gaza (kawasan padat penduduk tanpa ruang aman bagi lebih dari dua juta jiwa) menjadi pertaruhan besar yang sarat risiko dan keraguan.

Kolonel Hatem Karim al-Falahi, pakar strategi militer, menilai pernyataan PM Benjamin Netanyahu (yang diburu Mahkamah Pidana Internasional) mengisyaratkan operasi darat baru yang membidik Kota Gaza dan kawasan tengah (Deir al-Balah, Maghazi, Bureij). Dua wilayah ini, katanya, bukan sekadar titik di peta, melainkan simpul perlawanan yang tetap berdiri meski gempuran sebelumnya telah menghancurkan banyak hal.

Namun, al-Falahi mengingatkan: mengosongkan wilayah itu seperti memindahkan lautan manusia. Lebih dari dua juta penduduk, termasuk lansia, orang sakit, dan korban perang yang cacat, mustahil dievakuasi cepat. Bahkan Rafah (yang disebut “zona kemanusiaan”) hanya mampu menampung sekitar 600 ribu orang.

Secara taktis, operasi ini mungkin dilakukan dari satu atau dua arah, melibatkan unit tempur elit seperti Divisi 162 dan Divisi 36. Tapi klaim Netanyahu bahwa serangan akan cepat dipertanyakan. Keberhasilan misi bergantung pada hal-hal yang sulit dicapai: melumpuhkan total Hamas, memutus infrastruktur bawah tanah, sekaligus menyelamatkan tawanan, misi yang bahkan Kepala Staf Israel pernah isyaratkan layak dicoret karena hampir mustahil.

Bahkan jika pasukan berhasil menembus, mereka akan menghadapi wilayah yang sepenuhnya di luar kendali Israel, dengan jaringan pertahanan yang belum terusik. Harga yang harus dibayar (dari nyawa hingga legitimasi internasional) bisa sangat mahal.

Menurut al-Falahi, dorongan Netanyahu melaju cepat bukan karena kesiapan di medan perang, melainkan tekanan politik di dalam negeri dan desakan dunia internasional. Langkah ini berpacu dengan waktu dan opini publik, meski di lapangan penuh jurang bahaya.

Rencana bertahap untuk menduduki seluruh Gaza (disahkan kabinet Israel pekan lalu) bukan sekadar strategi militer. Jika terlaksana, ia akan mengunci pintu diplomasi, memutus peluang gencatan senjata, dan memperdalam luka sejarah.

Sejak 7 Oktober 2023, perang yang didukung penuh Amerika Serikat telah menorehkan angka-angka yang mencekam: 61.330 warga Gaza syahid, 152.359 terluka, ribuan hilang, dan kelaparan yang merenggut nyawa, termasuk puluhan anak-anak. Dunia menyeru untuk berhenti, Mahkamah Internasional memerintahkan gencatan, namun suara itu lenyap di tengah dentum senjata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here