Pengamat militer, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez Al-Duwairi, menyebut serangan jebakan yang dilakukan pejuang Palestina terhadap pasukan pendudukan Israel di Hayy Al-Jeneina, Rafah timur, sebagai bukti keunggulan medan dan tekad perlawanan yang tak pernah padam.
Dalam analisisnya di Al Jazeera, Duwairi menilai jebakan kompleks tersebut mencerminkan kekuatan kehendak dan kecakapan tempur para pejuang, meskipun dikepung kondisi sulit di lapangan.
Ia memperkirakan Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) akan merilis lebih banyak rekaman jebakan serupa yang dilakukan di wilayah timur Rafah dan Khan Younis. Hal ini menyusul pernyataan bertubi-tubi dari Al-Qassam usai operasi mematikan di Hayy Al-Jeneina.
Duwairi menyoroti bahwa setiap nama jebakan yang dipilih Al-Qassam bukanlah sembarang sebutan. Mereka merespons nama-nama operasi yang diklaim Israel sejak agresi 7 Oktober 2023. Misalnya, jebakan “Abwāb al-Jahīm” (Gerbang Neraka) adalah balasan simbolik terhadap ancaman Israel yang berulang kali bersumpah akan “membuka gerbang neraka bagi warga Gaza.”
Sebelumnya, jebakan “Kasar al-Sayf” (Patahkan Pedang) di Beit Hanoun ditujukan sebagai jawaban atas operasi Israel bertajuk “Kemuliaan dan Pedang.” Nama-nama lain seperti “Al-Abrar” (Orang-Orang Saleh), “Jebakan Kematian,” dan “Jebakan untuk Darah Al-Sinwar” menunjukkan narasi spiritual dan politis yang diusung perlawanan.
Dalam cuplikan video terbaru yang ditayangkan Al Jazeera hari Rabu, tampak jelas bagaimana jebakan dirancang dalam tiga tahap:
1. Serangan langsung
Pejuang keluar dari lubang terowongan dan menyerang pasukan Israel secara frontal, lalu mundur kembali ke dalam.
2. Penyergapan intelijen
Setelah pasukan Israel mengirimkan anjing pelacak dan drone, tim teknik Israel masuk dan menjadi sasaran ledakan di mulut terowongan.
3. Serangan lanjutan
Saat pasukan penyelamat datang, mereka dihantam roket anti-tank “Yasin 105” yang menghantam tank dan buldoser.
Menurut Duwairi, jebakan ini menjadi bukti lain bahwa pasukan Israel belum pernah benar-benar menguasai wilayah manapun di Gaza. Sebab, kata “menguasai” berarti menghilangkan total eksistensi perlawanan di area tersebut—hal yang belum pernah terjadi.
Ia menambahkan, taktik perlawanan bergantung pada penyusupan, jaringan terowongan, dan momen cuaca ekstrem untuk melancarkan serangan, dalam apa yang ia sebut sebagai “perang gerilya versi perang habis-habisan.”
Duwairi juga menyinggung kelemahan struktural jangka panjang militer Israel di tingkat pasukan bawah. Kelemahan ini selama ini ditutupi oleh dominasi udara. Namun dalam pertempuran darat, jebakan seperti yang terjadi di Rafah membuat mereka harus membayar mahal—dengan darah.
Belakangan ini, intensitas serangan perlawanan meningkat tajam. Militer Israel mengakui bahwa sedikitnya 6 tentaranya tewas sejak agresi kembali dilanjutkan pada 18 Maret lalu.