“Kami tak punya pilihan selain bertawakal kepada Allah. Sejak awal perang, kematian tak pernah jauh dari kami. Ia menghampiri di tenda pengungsian, di jalanan, dan bisa mencabut nyawa kapan saja, lewat bom, kelaparan, atau obat yang sudah rusak,” ucap Jamila Dhohir, perempuan Palestina berusia 75 tahun, sambil mengusap keringat dengan sudut jilbabnya.
Sejak mengungsi dari Jabalia di pekan pertama agresi militer Israel pasca serangan Thufan al-Aqsa, Dhohir tinggal bersama 14 anggota keluarganya dalam sebuah tenda rapuh di Deir al-Balah. Di tengah panas terik yang mengubah tenda menjadi tungku, Dhohir bertahan dengan penyakit jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi, tanpa obat.
Krisis Obat yang Mematikan
“Sudah dua hari saya tidak minum obat tekanan darah,” katanya menunjuk kantong kecil berisi obat-obatan kosong yang selalu ia bawa. “Saya mencarinya ke rumah sakit, klinik, bahkan apotek, tapi tidak ada.”
Kondisi kesehatannya terus menurun. Kakinya membengkak dan paru-parunya dipenuhi cairan. Dalam keputusasaan, beberapa minggu lalu, Dhohir terpaksa menelan obat jantung dan diabetes yang telah kedaluwarsa. “Saya tahu itu berbahaya. Tapi apa pilihan saya? Setelahnya, saya pusing dan mual, lalu dibawa ke rumah sakit.”
Sebelum perang, ia rutin menerima obat dari klinik milik UNRWA. Tapi kini, bahkan rumah sakit internasional pun tak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pasien: Racun atau Tak Sama Sekali
Hal serupa dialami Suleiman Arafat (65), pengungsi dari Hayy az-Zaitun, Gaza City. Ia juga mengonsumsi obat kedaluwarsa dari rumah sakit swasta dan langsung mengalami keracunan: muntah dan diare parah.
“Saya sudah lama tak minum obat darah tinggi. Obat tak tersedia, apotek pun kosong. Kami terjebak,” ujarnya lemah dari dalam tenda di dekat Dhohir.
Arafat menderita sakit jantung, saraf, dan tekanan darah tinggi. Ia bergantung pada bantuan, tak punya penghasilan, dan kesehatannya kian memburuk.
“Obat Sudah Habis”
Umm Saher Nassar (65), yang tinggal di rumah bersama 9 anggota keluarganya di Deir al-Balah, juga mengaku terpaksa mengonsumsi obat kedaluwarsa. “Untuk penyakit jantung dan tulang belakang saya, tidak ada obat. Yang ada, saya minum meski sudah kadaluarsa, agar bisa bertahan.”
Saat ditanya apakah ia takut dengan risiko mengonsumsi obat seperti itu, Nassar menjawab dengan tenang, “Hidup dan mati di tangan Allah. Kami sudah melihat terlalu banyak hal mengerikan dalam perang ini.”
Hampir Setengah Obat Dasar Sudah Habis
Data Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan bahwa 47% dari obat esensial dan 65% dari peralatan medis benar-benar kosong stoknya. Dr. Zakaria Abu Qamar, Direktur Farmasi Kemenkes Gaza, menyatakan bahwa dari 622 jenis obat esensial, 292 jenis sudah tidak tersedia, dan 63 dari 174 obat gawat darurat juga telah habis total.
Terpaksa Perpanjang Masa Kedaluwarsa
Akibat situasi darurat, kementerian mengambil langkah luar biasa: memperpanjang masa berlaku beberapa jenis obat. Abu Qamar menjelaskan bahwa ini hanya dilakukan terhadap obat penyelamat nyawa, dan melalui kajian ilmiah, uji kualitas, serta persetujuan dari tim farmasi dan mutu.
Namun ia menegaskan: “Tidak semua obat bisa diperpanjang. Jika tidak ada data teknis atau berpotensi membahayakan, kami tidak berani ambil risiko.”
Peringatan: Jangan Bertindak Sendiri
Abu Qamar juga mengingatkan bahwa tidak diperbolehkan bagi dokter atau apoteker individu memutuskan perpanjangan kedaluwarsa obat, kecuali oleh tim resmi kementerian. “Semua obat hasil perpanjangan masa berlaku diberi label baru yang menyatakan masa aktifnya yang baru.”
Ia meminta warga tidak mengonsumsi obat kedaluwarsa atas saran orang awam atau karena panik, dan selalu periksa label resmi dari dinas kesehatan.
Obat Jadi Barang Langka
Kelangkaan ini juga diperparah karena sejak perang dimulai, Israel melarang sektor swasta mengimpor obat-obatan, yang selama ini menjadi penopang penting dalam sistem kesehatan Gaza. Kini, tak hanya rumah sakit pemerintah yang kewalahan, tetapi juga apotek dan klinik swasta.
Di Gaza hari ini, obat menjadi barang langka. Dan ketika kesembuhan tergantung pada pil yang sudah rusak, nyawa jadi taruhan.
Sumber: Al Jazeera