Sejumlah negara Arab mengecam keputusan Israel untuk menghentikan bantuan ke Gaza sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian gencatan senjata, sementara Uni Eropa mengkritik Hamas karena menolak proposal perpanjangan tahap pertama, yang dianggap sebagai pelanggaran perjanjian.
Uni Eropa memperingatkan bahwa keputusan Israel untuk melarang masuknya seluruh bantuan kemanusiaan dapat berakibat pada dampak kemanusiaan yang serius.
Uni Eropa juga menyerukan dimulainya kembali negosiasi tahap kedua dari gencatan senjata sesegera mungkin, dengan menegaskan dukungannya yang kuat terhadap para mediator.
Uni Eropa menekankan bahwa gencatan senjata permanen akan membantu dalam membebaskan semua “sandera” Israel, serta menciptakan kondisi yang diperlukan untuk memulai pemulihan dan rekonstruksi Gaza.
Uni Eropa juga kembali menyerukan akses yang aman, cepat, dan tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina yang membutuhkan, serta memastikan pekerja kemanusiaan dan organisasi internasional dapat bekerja secara efektif di Gaza.
Uni Eropa menegaskan bahwa misi bantuan perbatasannya di perlintasan Rafah siap untuk melanjutkan tugasnya jika diminta oleh para pihak yang terlibat.
Netanyahu Dikecam atas Penghentian Bantuan
Pada Sabtu tengah malam, tahap pertama perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Gaza resmi berakhir setelah berlangsung selama 42 hari.
Namun, Israel tidak menyetujui kelanjutan ke tahap kedua dan memilih untuk tetap melanjutkan perang, di tengah berbagai hambatan yang dibuat oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Beberapa jam sebelumnya, Kantor Netanyahu dalam sebuah pernyataan mengumumkan bahwa “mulai Minggu pagi, semua barang dan pasokan ke Gaza akan dihentikan.”
Keputusan Netanyahu mendapat kecaman keras dari keluarga tahanan Israel dan sejumlah politisi Israel, yang menuduhnya menghindari negosiasi tahap kedua dan mempertaruhkan nyawa para tahanan.
Hamas: Penghentian Bantuan adalah Kejahatan Perang
Setelah keputusan tersebut diumumkan, Hamas dalam pernyataan resminya mengecam penghentian bantuan kemanusiaan sebagai “pemerasan murah, kejahatan perang, dan pengkhianatan terang-terangan terhadap kesepakatan.”
Hamas meminta para mediator, yakni Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, serta komunitas internasional untuk bertindak menekan Israel agar menghentikan kebijakan hukuman kolektif terhadap lebih dari dua juta warga Gaza.
Kecaman dari Negara-Negara Arab
Arab SaudiArab Saudi mengecam keputusan pemerintah Israel untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan menggunakannya sebagai alat pemerasan dan hukuman kolektif.
Kementerian Luar Negeri Saudi menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional,” serta “pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional” di tengah bencana kemanusiaan yang dialami rakyat Palestina.
Mesir
Mesir juga mengecam keputusan Israel, menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati antara Hamas dan Tel Aviv.
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan bahwa pihaknya mengutuk keputusan pemerintah Israel untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan menutup perlintasan yang digunakan untuk operasi bantuan.
Mesir menegaskan bahwa langkah-langkah tersebut melanggar perjanjian gencatan senjata, hukum humaniter internasional, Konvensi Jenewa Keempat, serta semua prinsip agama.
Kairo menekankan bahwa tidak ada alasan atau situasi apa pun yang dapat membenarkan penggunaan kelaparan terhadap warga sipil yang tak bersalah dan pemaksaan blokade, terutama di bulan Ramadan.
Mesir meminta komunitas internasional untuk bertanggung jawab dalam menghentikan semua tindakan ilegal dan tidak manusiawi yang menargetkan warga sipil, serta mengecam upaya Israel untuk mencapai tujuan politik dengan membahayakan nyawa orang tak bersalah.
Yordania
Yordania juga mengecam keras keputusan Israel untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan menutup perlintasan yang digunakan untuk tujuan tersebut.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Yordania menyebut keputusan Tel Aviv sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan hukum humaniter internasional, serta Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 tentang perlindungan warga sipil di masa perang.
Juru bicara kementerian, Sufyan Al-Qudah, menegaskan bahwa keputusan pemerintah Israel adalah “pelanggaran mencolok terhadap perjanjian gencatan senjata,” yang dapat memperburuk situasi di Gaza.
Al-Qudah menekankan bahwa Israel harus menghentikan penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap warga Palestina dan orang-orang tak bersalah dengan memberlakukan blokade, terutama di bulan Ramadan.
Dia juga menyerukan komunitas internasional untuk memenuhi tanggung jawab hukum dan moralnya, serta mendesak Israel untuk tetap berpegang pada perjanjian gencatan senjata dan memastikan semua tahapannya dijalankan, termasuk membuka kembali perlintasan untuk masuknya bantuan kemanusiaan bagi Gaza yang mengalami krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Qatar
Qatar mengecam keputusan Israel untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan menegaskan penolakannya yang tegas terhadap “penggunaan makanan sebagai senjata perang dan upaya untuk membuat warga sipil kelaparan.”
Qatar menyerukan komunitas internasional untuk memaksa Israel menjamin masuknya bantuan secara aman, berkelanjutan, dan tanpa hambatan ke seluruh wilayah Gaza.
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Qatar menegaskan bahwa keputusan Israel adalah “pelanggaran mencolok terhadap perjanjian gencatan senjata, hukum humaniter internasional, Konvensi Jenewa Keempat, serta prinsip-prinsip agama.”
Qatar juga kembali menegaskan dukungannya terhadap perjuangan Palestina dan hak-hak sah rakyat Palestina, termasuk mendirikan negara merdeka berdasarkan perbatasan 1967 dengan Al-Quds Timur sebagai ibu kotanya.
Kuwait
Kementerian Luar Negeri Kuwait juga mengecam dan mengutuk keras keputusan Israel untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Kuwait menganggap kebijakan ini sebagai pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, bertentangan dengan prinsip dasar hukum humaniter internasional, serta menunjukkan ketidakpedulian terhadap dampak brutal yang ditimbulkan oleh perang di Gaza.
Pemerintah Kuwait menegaskan kembali posisinya yang menolak kebijakan dan tindakan semacam ini, yang tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan mencegah rakyat Palestina mendapatkan hak-hak dasarnya, termasuk dengan menggunakan kelaparan sebagai alat tekanan, terutama di bulan Ramadan.