“Umm Jihad,” ibu empat anak, sibuk membantu suaminya menyingkirkan air yang membanjiri tenda mereka di Gaza, setelah rumah keluarga mereka hancur di kawasan Al-Tuffah, timur kota Gaza. Anak-anaknya menggigil kedinginan, basah kuyup karena hujan yang meresap masuk tenda—yang seharusnya memberi perlindungan kini berubah menjadi “lembaran es” yang menutupi tubuh mereka.

Ini hanyalah satu dari ribuan adegan penderitaan yang dapat ditemui di setiap kamp pengungsi, gang, atau jalan di Gaza, yang menyambut musim dingin kali ini dengan ketakutan dan kecemasan, jauh berbeda dari masa sebelum perang pemusnahan yang menghancurkan hampir seluruh infrastruktur kota.

Dengan awal hujan musim dingin, tragedi kemanusiaan Gaza kembali tampak jelas. Ribuan keluarga terjebak di tenda tipis yang tidak mampu menahan angin dan hujan, sementara hujan lebat dan angin kencang mengubah tanah menjadi lumpur, dan tenda-tenda menjadi hampir tidak layak huni. Anak-anak, wanita, dan lansia harus menghadapi cuaca ekstrem tanpa perlindungan minimal atau infrastruktur dasar.

Kondisi ini diperparah oleh kekurangan pangan, air bersih, dan layanan kesehatan, sementara pengungsi kehilangan rumah dan sumber penghidupan mereka. Setiap tetes hujan menjadi ujian baru bagi mereka yang hampir tidak tersisa apa-apa untuk dipertahankan.

Tenda yang Rapuh, Bencana yang Mengintai

Tenda-tenda di kamp pengungsian adalah tempat tinggal sementara yang tidak layak, terbuat dari kain tipis yang tidak melindungi dari hujan atau angin. Tidak ada listrik, air bersih, atau fasilitas kesehatan memadai. Keluarga terpaksa menempati ruang sempit tanpa privasi atau keamanan.

Saat hujan turun, tanah berlumpur, air meresap ke dalam tenda, kasur dan selimut yang terbatas menjadi basah, dan malam yang dingin berubah menjadi penderitaan panjang. Setiap hujan deras menimbulkan kekhawatiran tenda roboh atau terendam air, sementara pengungsi bekerja tanpa henti mencoba menyingkirkan air dan menjaga tenda tetap berdiri.

Ujian Baru bagi Gaza

Jurnalis Palestina, Mohammad Qaoud, menulis bahwa hujan di Gaza bukan sekadar cuaca; ini adalah perang baru, “tenda-tenda disiram hujan seolah-olah perang dilanjutkan oleh alam, dan keluarga terpaksa berjalan di lumpur yang menambah luka lama.”

Hamas, melalui juru bicaranya Hazem Qassem, menyebut musim dingin kali ini sebagai bencana yang meningkat, di tengah tenda-tenda yang tenggelam, anak-anak dan lansia yang terpapar, serta ketiadaan fasilitas pengungsian dasar. Ia menekankan bahwa blokade Israel, larangan rekonstruksi, dan kerusakan akibat perang memperpanjang penderitaan warga.

Peringatan Kemanusiaan

Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan kondisi memburuk di Gaza menjelang musim dingin. Ratusan ribu keluarga hidup tanpa tenda layak, selimut, atau pemanas, sementara pasokan bantuan terbatas karena larangan Israel mengizinkan pengiriman bantuan.

https://twitter.com/PalinfoAr/status/1993296185000644706?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1993296185000644706%7Ctwgr%5E06c746f1629ad0d76c8a13590bad10f6977957b2%7Ctwcon%5Es1_&ref_url=https%3A%2F%2Fpalinfo.com%2Fnews%2F2025%2F11%2F25%2F983092%2F

Dokter Tanpa Batas menegaskan, bantuan yang masuk masih jauh dari cukup, dan tanpa perbaikan segera, warga Gaza akan menghadapi musim dingin yang keras kembali. Franck Loth, koordinator darurat, menyoroti bagaimana hujan deras merusak tenda dan menggenangi kawasan pengungsian, memperparah penderitaan yang sudah parah.

Sumber: Al Jazeera, Media Palestina

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here