Di ruang perawatan intensif RS Baptis, Gaza Timur, Dina Shahin (21) terbangun dari koma dengan kondisi perut terbuka, ususnya terikat hanya dengan sehelai plastik tipis. Ia menggigil bukan hanya karena luka yang menganga, tapi juga dentuman artileri yang menggetarkan dinding rumah sakit.

Yang menghantuinya hanya satu: kemungkinan orang tuanya terpaksa mengungsi ke selatan tanpa bisa membawanya. Tersambung ke mesin pernapasan dan perangkat medis vital, Dina merintih panik kepada dokter, “Tolong hubungi ibu dan ayah saya. Katakan mereka belum meninggalkan saya.”

Di tangga rumah sakit, kedua orang tuanya memang sudah berhari-hari bertahan, tidur tanpa alas, yakin bahwa kehadiran mereka adalah penopang terakhir hidup putrinya.

Kisah Dina adalah potret ribuan pasien Gaza yang kini menghadapi ancaman paling getir: bukan hanya serangan udara, tetapi juga rencana pemindahan paksa yang, menurut Kementerian Kesehatan, sama artinya dengan vonis mati.


Luka yang Tak Bisa Dipindahkan

Dina semula tengah menjalani praktik di RS Syifa. Namun pada suatu malam, dua peluru drone Israel menghantam tumereda, satu menembus pahanya, satu lagi meledak di perutnya dan merobek ususnya. Setelah serangkaian operasi darurat, dua meter usus terpaksa diangkat. Luka itu kini dibiarkan terbuka agar infeksi mereda.

Setiap kali tersadar, Dina hanya ingin memastikan orang tuanya masih di luar ruangan. Ia tahu, jika dipaksa pindah, luka terbuka dan usus yang rapuh itu tak mungkin bertahan di jalan penuh puing dan ledakan.


Bahaya Kolektif

Data Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 2.000 pasien dalam kondisi serupa: 120 bergantung pada ventilator dan perawatan intensif, 400 penderita gagal ginjal, ratusan bayi prematur di inkubator, serta lansia dan pasien penyakit kronis. Semua mereka berisiko mati jika dipindahkan secara paksa ke selatan.

Direktur Jenderal Kemenkes Gaza, Munir al-Bursh, menegaskan: “Kami tidak akan meninggalkan pasien. Ini harga mati. Jika dipaksa dipindahkan, tidak ada satu pun yang akan selamat.”

Menurutnya, rumah sakit di selatan sudah bekerja dengan tingkat keterisian lebih dari 300%, tidak ada kapasitas untuk menampung ribuan pasien baru. Pemindahan hanya akan mengulang tragedi RS Al-Nasr pada November lalu, ketika pasukan Israel memaksa evakuasi paksa, meninggalkan enam bayi di inkubator hingga meninggal kehabisan oksigen.


Hukum Humaniter yang Dilanggar

Para pakar hukum internasional menegaskan, penolakan Gaza untuk mengosongkan rumah sakit adalah hak yang dilindungi. Osama Saad, pakar hukum humaniter, menjelaskan: Konvensi Jenewa IV secara jelas melindungi fasilitas medis sipil. Artikel 18 menegaskan larangan keras menghalangi perawatan medis, sementara protokol tambahan I melarang pemindahan fasilitas kesehatan kecuali demi keselamatan pasien atau staf medis.

Memaksa evakuasi tanpa jaminan layanan kesehatan berkelanjutan, apalagi dalam kondisi perang, dapat digolongkan sebagai bentuk pemindahan paksa yang dilarang dan berpotensi menjadi kejahatan perang menurut Statuta Roma.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here