Sejumlah media internasional menyoroti kondisi yang kian memburuk di Jalur Gaza. Krisis kemanusiaan di wilayah tersebut terus meningkat di tengah agresi militer Israel yang tak kunjung berhenti.
The Independent, dalam laporan terbarunya yang mengutip data lapangan, mengungkapkan bahwa gelombang kelaparan yang melanda Gaza kini terjadi bersamaan dengan gelombang serangan udara paling brutal sejak 7 Oktober 2023.
Sejak runtuhnya gencatan senjata, tentara pendudukan telah melancarkan lebih dari 1.500 serangan udara ke wilayah yang terkepung.
Laporan itu juga menyoroti tragedi kemanusiaan yang terjadi di sekitar titik distribusi bantuan.
Banyak warga yang tewas atau terluka ketika mencoba mengakses bantuan, mencerminkan betapa parahnya kondisi lapangan dan tingginya risiko yang harus ditempuh hanya untuk mendapatkan makanan.
Sementara itu, agresi militer ini dibarengi dengan pengusiran paksa terhadap sekitar 250.000 warga Palestina dari Kamp Jabalia di utara Gaza ke arah selatan yang disebut “zona perlindungan kemanusiaan”.
Namun, ironisnya, bantuan yang berhasil masuk ke Gaza saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 9% dari kebutuhan dasar.
Pertanyaan Internal Israel: Untuk Apa Perang Ini Dilanjutkan?
Dari dalam Israel sendiri, kritik mulai mengemuka. Harian Haaretz menerbitkan sebuah artikel yang menyebut bahwa setidaknya 20 tentara Israel tewas sejak Tel Aviv kembali melancarkan serangan pasca-gencatan senjata. Angka itu disebut-sebut setara dengan jumlah tawanan yang bisa saja diselamatkan jika Israel melanjutkan negosiasi tahap kedua dengan Hamas.
Artikel tersebut memancing pertanyaan tajam: Untuk siapa dan untuk apa perang ini diteruskan? Bila para tahanan terus meninggal di tangan Hamas dan para tentara Israel sendiri ikut berguguran, maka siapakah yang sebenarnya diuntungkan dari perang yang disebut-sebut didorong oleh motif politik ini?
Pertanyaan itu menjadi semakin relevan setelah peristiwa paling berdarah bagi militer Israel sejak invasi darat dimulai: 21 tentaranya tewas dalam satu hari setelah pos militer dan tank dihantam rudal oleh pejuang Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas.
Di Dalam Negeri Israel: Pemerintah Guncang karena Krisis Wajib Militer
Di sisi lain, krisis internal juga membelit pemerintahan Netanyahu. The Times of Israel melaporkan adanya “pertempuran hukum” yang tengah dilancarkan pemerintahan Netanyahu—yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—untuk memecat penasihat hukum pemerintahnya sendiri.
Namun, menurut laporan itu, para pejabat menyadari bahwa langkah ini tidak akan berhasil sejak awal. Tujuannya semata-mata adalah untuk mengalihkan perhatian publik dari isu sensitif wajib militer kaum Haredi (Yahudi ultra-Ortodoks)—isu yang mengancam stabilitas koalisi penguasa.
Namun, manuver Netanyahu ini tampaknya datang di saat yang salah. Justru kini, dukungan terhadap wajib militer bagi kalangan Haredi semakin kuat. Masyarakat Israel menilai, jika perang ini menjadi beban seluruh bangsa Yahudi, maka tidak ada kelompok yang seharusnya dikecualikan dari pengorbanan itu.
Dalam laporan lain, The Wall Street Journal mencatat upaya militer Israel mengatasi kekurangan personel dengan merekrut lebih banyak perempuan ke dalam unit tempur. Langkah ini dipicu oleh penolakan luas dari kalangan muda Haredi terhadap kewajiban militer.
Meski pelibatan lebih banyak perempuan dapat meringankan beban militer, kebijakan ini dipandang tak akan menyelesaikan krisis wajib militer secara menyeluruh.
Eropa Ragu, Dunia Mendesak Gencatan SenjataDari Eropa, Le Monde menyoroti pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang sempat memberi sinyal akan mengakui Negara Palestina. Namun, sikap Paris kini justru tampak semakin kabur menjelang konferensi penting di New York yang sedianya menjadi langkah awal dalam proses pengakuan tersebut.
Le Monde menyebut, keraguan Macron ini bisa jadi buah dari tekanan diplomatik Israel. Terlebih, beberapa hari lalu, delegasi Prancis mengunjungi Israel untuk membangun kembali hubungan dengan pemerintahan Netanyahu.
Sikap ambigu ini muncul justru saat gelombang kecaman dunia terhadap agresi Israel semakin menguat. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana apa pun yang tidak menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan di Gaza.
Sementara itu, jutaan suara dari jalanan terus bergema. Aksi massa besar-besaran terjadi di Maroko, Yordania, dan Yaman sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Gaza dan protes terhadap kejahatan perang yang terus dilakukan oleh pendudukan Israel.