Panas menyengat dan kemacetan tak mampu menghalangi ribuan warga Tripoli, ibu kota Libya, untuk menyambut “Qafilat ash-Shumud” (Konvoi Keteguhan) yang tiba Rabu pagi (11/6) di Lapangan Syuhada. Pria, wanita, hingga anak-anak tumpah ruah di jalanan, menyambut dengan pelukan dan air mata dalam momen persaudaraan Arab yang jarang terjadi, semua demi memecah pengepungan atas Gaza.
Konvoi kemanusiaan lintas negara yang menggerakkan nurani umat ini menempuh perjalanan panjang dari Tunisia menuju Libya, melibatkan lebih dari seribu aktivis, puluhan bus, dan kendaraan yang terus bertambah di tiap kota yang mereka singgahi.
“Perjalanan ini sungguh lancar dengan cara yang luar biasa,” ujar Haifa Al-Mansouri, aktivis asal Tunisia.
Ia menuturkan kekagumannya atas sambutan hangat di Libya serta kerjasama erat dengan Tansiqiyyah al-‘Amal al-Musytarak li-Ajl Falastin fi Libiya, koalisi lebih dari 12 LSM Palestina di seluruh Libya, yang juga berkoordinasi dengan Pemerintah Persatuan Nasional Libya demi menjamin keamanan konvoi sejak memasuki perbatasan Ras Jdir.
Libya, Stasiun Kehangatan
Setiap kota menyambut konvoi dengan caranya sendiri. Di kota Zuwara, seluruh kendaraan peserta diisi bahan bakar secara gratis. Di Zaouia, mereka disambut dengan tempat bermalam di hutan Jadaim dan sarapan lengkap sebelum melanjutkan perjalanan ke Tripoli.
Di Tripoli, suara takbir bersahutan, zaghareet perempuan menggema, dan rakyat menyambut dengan baklava khas serta minuman dingin. Delegasi dari Tunisia, Aljazair, dan Libya berkumpul dalam pelukan kebangsaan, di bawah langit ibukota dan di depan Istana Al-Saraya Al-Hamra, sambil mengibarkan bendera Libya, Tunisia, dan Aljazair yang membungkus panji Palestina dalam satu kesatuan yang membuncahkan air mata.
Di tengah suasana bak pesta kebangkitan Arab itu, suara pemuda Palestina bernama Miyar menggema. Ia adalah aktivis dari komunitas “Boikot dan Lawan” di Libya. Dengan semangat membara, ia menyerukan nama Syahid Yahya Sinwar, Abu Ubaidah, dan Brigade Al-Qassam.
Suaranya memimpin simfoni perlawanan yang diikuti puluhan suara lain, mereka bukan sekadar menyalurkan bantuan, tapi membawa tekad dan harga diri.
Gerakan Rakyat yang Menyamai Negara
Ali bin Nasser, anggota Tansiqiyyah, menyampaikan bahwa konvoi akan melanjutkan perjalanan ke arah timur melalui Misrata dan Zliten, lalu bermalam di salah satu kota tersebut sebelum tiba di perbatasan Mesir, yaitu Gerbang Saloum, pada Kamis. Target akhir: perbatasan Rafah di Gaza.
“Konvoi ini adalah unjuk rasa Arab terbesar lintas negara yang melibatkan peserta dari 30 negara. Kami bergabung dengan konvoi internasional dari Eropa, Amerika, baik lewat darat, laut, maupun udara. Tujuan kami satu: hentikan perang, buka akses bantuan ke Gaza,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Ia menegaskan, “Kami ingin dunia tahu: rakyat Arab tidak berdiri di balik para penguasa yang lemah dan diam.”Bin Nasser menambahkan bahwa bangsa Arab kini bergerak dengan tangan mereka sendiri. Mereka menempuh jarak jauh, menembus tantangan logistik, dan menantang bahaya demi menjawab jeritan Gaza, melawan “barbarisme zionis” dan pembantaian yang dilakukan pemerintah Israel ekstremis terhadap rakyat Palestina.
Jumlah Peserta Meledak
Juru bicara resmi konvoi dari Tunisia, Nabil Shalufi, juga menyatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan Gaza sendirian.“Kami mulai dari Tunisia dengan 1.000 peserta asal Tunisia dan 200 dari Aljazair. Tapi saat ini jumlah peserta asal Libya bertambah sangat besar, bahkan jumlah warga Aljazair meningkat tiga kali lipat,” ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa banyak mobil konvoi membentang sejauh mata memandang, “Butuh drone untuk melihat keseluruhannya.”
Beberapa delegasi Tunisia bergabung dari jalur darat melalui perbatasan Ras Jdir, lainnya lewat jalur udara melalui Bandara Misrata. Ia memastikan bahwa koordinasi dengan otoritas Libya Timur juga berjalan baik dan mendapat jaminan keamanan untuk kelanjutan perjalanan.
Solidaritas Tanpa Syarat
Aksi massa Arab ini menjadi salah satu bentuk solidaritas rakyat terbesar yang pernah terjadi demi Palestina, di tengah blokade brutal Israel atas Gaza selama lebih dari 17 tahun. Sejak Maret lalu, Israel menutup semua perlintasan ke Gaza dan menghentikan suplai bahan bakar, menyebabkan rumah sakit, roti, dan sumber air bersih berhenti total. Bahkan bantuan PBB pun dihentikan atau dijadikan sasaran.
Setelah Operasi Thufan Al-Aqsha (7 Oktober 2023), Israel meningkatkan blokade menjadi senjata pembunuh: kelaparan, kekeringan, dan kehabisan obat-obatan dijadikan alat pendudukan untuk membungkam rakyat yang terus melawan.
Namun hari ini, suara rakyat Arab menjawab: “Gaza tidak sendiri.”