Spirit of Aqsa– Militer Israel sudah tujuh bulan melakukan serangan ke Jalur Gaza. Namun rupanya, banyak tentara yang mengeluh karena terlalu lama ditugaskan di daerah kantong Palestina tersebut.
Investigasi yang dilakukan oleh surat kabar Israel, Calcalist, mengungkap adanya “ketidakpuasan parah” di antara tentara cadangan di militer Israel akibat lamanya masa tugas mereka. Itu terjadi setelah 230 hari perang di Gaza.
Calcalist mewawancarai banyak tentara cadangan yang terlibat dalam perang di Gaza. Mereka mengeluhkan lamanya masa tugas, jam kerja yang panjang setiap hari, dan perlakuan diskriminatif dalam beban tugas.
Para tentara memperingatkan bahwa kondisi ini sangat menguras tenaga, menyebabkan masalah psikologis, serta mengganggu kehidupan profesional mereka.
“Beberapa tentara tetap dalam dinas cadangan sepanjang waktu, sementara yang lain mendapatkan tugas yang lebih ringan dan gaji yang lebih besar di pekerjaan sipil,” tulis surat kabar tersebut.
Surat kabar tersebut mengutip pernyataan seorang perwira cadangan di korps tank, yang mengatakan: “Saya sekarang menghadapi kesulitan untuk kembali bekerja, saya bahkan lupa rekan kerja saya,” sambil menambahkan bahwa dia telah bertugas di militer lebih dari tujuh bulan.
“Situasinya semakin buruk. Banyak tentara ingin kembali ke kehidupan normal mereka. Teman-teman saya dari unit lain yang berperang di Gaza memutuskan untuk tidak kembali ke medan perang atau dinas cadangan,” tambahnya.
Seorang tentara cadangan lain yang saat ini bertugas di Gaza, bernama Noam, memperingatkan, lamanya masa tugas telah menyebabkan banyak masalah pribadi dan psikologis bagi banyak tentara cadangan.
Noam mengungkapkan, unitnya tidak lagi mampu menjalankan tugasnya akibat kelelahan yang berlebihan. Dia mengatakan, “Beberapa tentara memiliki masalah dengan istri mereka, sementara yang lain menghadapi masalah di tempat kerja.”
Keretakan yang Belum Pernah Terjadi
Calcalist menyebutkan, mobilisasi besar-besaran pasca 7 Oktober telah menciptakan keretakan yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara pemukim Israel, disertai ketidakpercayaan kepada para pemimpin politik. Mereka menilai pemimpin politik, seperti Benjamin Netanyahu, mengelola perang hanya untuk kepentingan pribadi.
“Lama masa tugas di militer telah berdampak negatif pada ekonomi Israel. Kementerian Keuangan memperkirakan biaya masa tugas cadangan dalam perang mencapai sekitar 5,44 miliar dolar, namun angka ini meningkat menjadi 8,17 miliar dolar setelah 7 bulan, dan perang masih terus berlanjut,” tulis Calcalist.
“Dalam upaya untuk mengatasi dampak ekonomi dan psikologis ini, militer Israel berencana memindahkan beberapa tugas dari pasukan cadangan ke pasukan reguler, dan juga mempertimbangkan untuk mengurangi penggunaan perintah darurat untuk merekrut tentara cadangan,” lanjutnya.
Institut Studi Keamanan Nasional Israel, yang berafiliasi dengan Universitas Tel Aviv, memperkirakan bahwa pada awal perang, sekitar 300.000 tentara cadangan direkrut untuk berpartisipasi dalam perang.
Dengan berlanjutnya perang, militer menghadapi kekurangan personel yang signifikan, yang memicu gerakan publik dan oposisi yang menyerukan agar kaum Yahudi ultra-ortodoks (Haredi) ikut serta dalam memikul beban perang.