Zain, bocah lelaki berusia 5 tahun, syahid bersama kakaknya dalam serangan udara Israel yang mengguncang Kota Gaza pada 24 Oktober 2024. Ia hanyalah satu dari ratusan anak yang menjadi korban dalam rangkaian pembantaian terhadap warga sipil di wilayah yang terkepung.

Lahir pada 3 Agustus 2019, Zain adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarganya. Ia hadir setelah sang ibu melahirkan dua anak perempuan berkebutuhan khusus.

Kehadirannya menjadi anugerah yang lama dinanti, penyembuh luka panjang, sekaligus cahaya dalam hidup sang ibu yang begitu terikat dengan setiap detik masa kecilnya—dari langkah pertamanya, hingga suara tawanya yang ceria.

Namun kegembiraan itu direnggut dalam sekejap.

Sang ibu bahkan tidak diberi kesempatan untuk melihat jasad putranya. Ia hanya menerima kabar syahidnya Zain dan sang kakak tanpa bisa memberikan pelukan terakhir.

“Aku kehilangan keduanya dalam satu momen. Tanpa pamit, tanpa genggaman terakhir… bahkan tanpa sempat mengucapkan doa di telinga mereka,” ungkapnya dengan suara yang nyaris tak tersisa.

Seharusnya hari ini, Zain sedang duduk di taman kanak-kanak. Mengenakan tas mungilnya, mempelajari huruf-huruf pertama dalam hidup. Tapi sebuah serangan udara menghapus semua mimpi itu.

Mengubah masa depannya menjadi angka baru dalam daftar panjang anak-anak Gaza yang dibunuh.

Bagi ibunya, Zain adalah jawaban dari doa panjang dan luka yang dalam. Kini, jawaban itu telah kembali ke langit dengan tubuh mungil yang tak bisa lagi dipeluk.

Dia menyuarakan tangis dan kemarahan—menyalahkan pendudukan Israel atas kejahatan ini, dan menuntut dunia untuk menghentikan pembiaran terhadap pembantaian anak-anak tak berdosa.

Kisah Zain bukanlah satu-satunya. Ia hanyalah wajah dari ribuan kisah luka yang terus terjadi di Gaza. Di sana, tak ada garis batas antara sipil dan militer di mata jet-jet tempur Israel. Tak ada kekhususan bagi anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan mimpi, bukan dengan duka.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here