Tidak ada yang lebih memenuhi pikiran Hala Hannani (Umm Muhammad), seorang warga Palestina, selain memikirkan anak-anaknya yang menjadi tahanan di penjara pendudukan Israel.
Setiap malam ia tidur sambil memikirkan mereka, dan setiap pagi ia bangun dengan kekhawatiran yang sama.
Hanya doa yang mampu ia panjatkan di tengah penderitaan para keluarga tahanan akibat larangan kunjungan dan komunikasi yang diberlakukan Israel, bersamaan dengan meningkatnya kampanye penangkapan massal.
Seiring waktu, kekhawatiran keluarga tahanan terhadap kondisi anak-anak mereka semakin meningkat. Perlakuan represif, kondisi penahanan yang buruk, dan metode penghinaan yang diterapkan Israel sudah melampaui batas.
Situasi ini menjadi lebih sulit bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anggota keluarga yang ditahan, seperti Umm Muhammad, yang terus dihantui kecemasan dan kekhawatiran.
Melalui ponselnya, wanita berusia 60 tahun itu terus memantau berita terbaru tentang ketiga putranya, yaitu Suhaib, Muhammad, dan Jamal, berharap mendapatkan kabar yang menenangkan hatinya, terutama tentang Jamal yang sedang sakit di penjara tanpa kabar pasti. Ia juga sering melihat foto mereka yang tersimpan di ponselnya untuk mengobati rindunya.
Kekhawatiran Berlapis
Kesepian dan kekosongan menjadi beban terberat bagi Umm Muhammad dan keluarganya. Seperti yang ia ceritakan kepada Al Jazeera, penahanan ketiga putranya meninggalkannya berjuang sendirian di rumah mereka di Haret Al-Qubba, desa Beit Furik, dekat Nablus, Tepi Barat. Ketiga anaknya yang dulu mengisi rumah kini membuat rumah terasa sunyi.
Umm Muhammad, yang sudah terbiasa menghadapi pahitnya penahanan—mulai dari suaminya, Sheikh Hossam Hannani, yang diusir ke Marj Al-Zuhour selama setahun pada 1990-an, hingga kerabat lainnya—mengatakan bahwa pengalaman kali ini jauh lebih berat.
“Kali ini lebih menyakitkan karena anak-anak saya ditahan secara paksa tanpa ada informasi tentang mereka,” katanya.
Ia menambahkan, “Selama hampir empat dekade saya menghadapi pendudukan dan penjaranya, tetapi penahanan saat ini terasa lebih pahit karena pendudukan melarang kunjungan, memutus semua bentuk komunikasi, dan bahkan melarang tahanan mendapatkan hak dasar seperti makanan, minuman, dan pakaian.”
Semua ini memperburuk kesedihan Umm Muhammad. Ia hidup dalam ketakutan akan nasib putra-putranya, terutama ketika mendengar kabar tentang kondisi buruk di penjara, penyiksaan, serta kematian lebih dari 50 tahanan akibat penyiksaan sejak dimulainya perang di Gaza. Rasa sakitnya semakin dalam ketika cucunya bertanya tentang ayah mereka yang ditahan.
Umm Muhammad terus mencari informasi dari tahanan yang dibebaskan dan menghubungi lembaga pendukung tahanan untuk mendapatkan kabar, meski sejauh ini ia hanya tahu lokasi penahanan mereka.
Penangkapan Massal
Menurut Klub Tahanan Palestina, sejak dimulainya serangan Israel ke Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 12.000 orang Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds telah ditangkap. Dari jumlah tersebut, 10.300 orang masih berada di penjara Israel.
Angka ini belum termasuk ribuan tahanan dari Gaza, puluhan di antaranya telah syahid di bawah penyiksaan tanpa identitas yang jelas. Banyak dari mereka tetap dalam kondisi penghilangan paksa.
Informasi ini menambah kekhawatiran keluarga tahanan, terutama mereka yang memiliki lebih dari satu anggota keluarga di penjara, seperti Umm Muhammad dan Iman Hamzah, yang dua putranya ditahan.
Kehilangan yang Mahal
Di pusat Kota Nablus, Iman Hamzah ikut serta dalam aksi solidaritas untuk tahanan. Ia membawa foto kedua putranya, Imaduddin dan Ahmad Yasin, yang masih muda, dan bersama para ibu lainnya mengecam kejahatan pendudukan terhadap tahanan.
Dengan air mata yang tak berhenti mengalir, Iman mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya sangat kehilangan mereka. Ia semakin khawatir karena Imad ditahan dalam kondisi terluka akibat tembakan Israel di kakinya.
Foto Imad yang tersebar di media sosial menunjukkan dia bersama tahanan lain dalam kondisi tangan dan kaki terikat serta dipaksa berbaring di tanah.
Ketidakhadiran kedua anaknya ini berdampak besar pada keluarganya, baik secara emosional maupun finansial, terutama karena ayah mereka menderita kanker.
Keluarga ini telah menghabiskan lebih dari 2.300 dolar AS untuk biaya pengacara demi mendapatkan kabar tentang mereka.
Tantangan Ekonomi dan Psikologis
Seperti keluarga Hamzah, keluarga lainnya juga menghadapi penderitaan ganda akibat penahanan bersaudara, termasuk keluarga Imar di Qalqilya, yang tiga putranya—Nuruddin, Nidal, dan Abdul Salam—dihukum penjara seumur hidup beberapa kali.
Direktur Klub Tahanan Palestina di Nablus, Muzaffar Dhoqan, mengatakan bahwa ketakutan terbesar yang dihadapi keluarga tahanan adalah meningkatnya jumlah penangkapan dan pembunuhan di penjara akibat penyiksaan.
“Ada kekhawatiran nyata akan kehidupan mereka, terutama karena pendudukan melarang kunjungan keluarga,” ujarnya.
Selain itu, penahanan bersaudara juga memperparah beban ekonomi keluarga, yang harus menanggung biaya besar untuk kebutuhan tahanan maupun pengacara.
Sumber: Al Jazeera