Spirit of Aqsa- Khalid Nabhan bukanlah seorang kakek biasa, apalagi syahid biasa. Ia adalah kisah duka dan kerinduan yang menyentuh hampir setiap rumah di dunia, ketika orang-orang menyaksikan bagaimana ia dengan kata-kata penuh luka melukiskan salah satu kisah perpisahan paling memilukan di Gaza.
Setelah penantian panjang, Khalid Nabhan akhirnya menyusul cucunya, “Ruh dari Ruhnya”, dan berbalut kain putih yang mewarnai kepala dan janggutnya dengan keagungan dan wibawa. Cahaya itu semakin bersinar ketika ia meninggalkan dunia ini sebagai seorang syahid dengan senyum yang merekah.
Syahadah seakan tidak pernah salah sasaran, ia menembus langsung ke relung jiwanya, ke bagian terdalam hatinya.
Sekitar setahun yang lalu, Khalid Nabhan memeluk kesabaran sambil menggenggam tubuh kecil cucunya, Reem, mencium jasadnya yang lembut bak bunga anemon merah. Namun, tubuh mungil itu berlumur darah pekat, retak oleh hantaman peluru dan bom api Israel.
Khalid Nabhan mengeluarkan cucunya dari bawah reruntuhan, tak percaya bahwa kehidupan yang ceria itu diputus oleh tentara Israel di usianya yang baru tiga tahun. Tawanya yang mengisi rumah dengan kebahagiaan kini berubah menjadi tangisan abadi, dan foto-fotonya yang bersinar berubah menjadi bayangan-bayangan menyakitkan yang mengusik malam dan menggugah kenangan.
Dengan penuh duka, sang kakek memeluk jasad kecil itu, mencium dan mendekapnya erat ke dada. Ia berharap tawa kecil Reem akan kembali terdengar, mengatakan padanya bahwa semua ini hanya sebuah lelucon.
Namun kenyataan begitu kejam. “Ruh dari Ruhnya” adalah gambaran nyata penderitaan, juga bukti bahwa pembantaian Israel di Gaza tidak mengenal usia, baik anak kecil maupun orang tua, sipil atau pejuang. Pembersihan etnis, genosida, dan agresi menargetkan segala bentuk kehidupan di wilayah yang hancur ini, sebagaimana diungkapkan oleh banyak orang.
Kenangan Kelahiran dan Waktu Kepergian
Pada bulan Desember, sang kakek dan cucu lahir, dan di bulan yang sama mereka pergi dalam dua tahun berturut-turut. Tahun lalu, Reem kecil berpulang hanya sebulan sebelum ulang tahunnya yang keempat.
Saat Reem menantikan momen itu, Khalid Nabhan telah menyiapkan kejutan penuh cinta. Kebahagiaan semakin sempurna karena mereka berbagi bulan kelahiran yang sama. Di hati sang kakek, kebahagiaan itu bagaikan bunga mekar yang berayun di ayunan kebahagiaan, sedangkan di hati kecil Reem yang lugu, ada melodi kekanakan yang manis. Namun semua itu hancur oleh peluru Israel.
Beberapa bulan setelah kepergian Reem, Khalid menyambut cucu barunya yang diberi nama “Rujad”, yang berarti waktu shalat subuh—saat cahaya muncul dari kegelapan. Namun, cahaya kehidupan itu pun kini terasa redup karena bunga-bunga dan burung-burung di Gaza menjadi target penembak jitu Israel, mengirimkan maut yang jarang meleset dari sasarannya.
Meski dihimpit duka mendalam akibat kehilangan “Ruh dari Ruhnya”, Khalid Nabhan tetap menjadi sosok penuh cinta dan kehangatan. Ia memiliki cara unik untuk menghibur anak-anak, meringankan duka dengan senyum penuh keteguhan, dan menyebarkan rasa ridha serta keimanan. Dengan jiwanya yang bercahaya, ia menghadapi duka yang bagaikan gunung dan mengalirkan penghiburan meski kesedihan merajam hati.
Esok Kita Bertemu
Reem dan Khalid, cucu dan kakek, adalah dua jiwa yang lahir dari bara kehidupan di Gaza. Kisah mereka adalah satu dari puluhan ribu kisah serupa yang dipenuhi duka. Ini adalah kisah tentang kehidupan yang dibunuh dan darah masa kecil yang suci disia-siakan.
Khalid Nabhan adalah salah satu luka Gaza yang paling fasih berbicara. Kata-katanya, senyumnya, dan dukanya adalah pesan yang mengguncang dunia, meruntuhkan tembok ketidakpedulian. Kalimat “Ruh dari Ruh” yang selalu ia ucapkan mampu membangkitkan sisi kemanusiaan yang tersisa di dunia.
Roh Khalid Nabhan telah melayang dalam kerinduan sejak ia kehilangan cucunya. Dalam salah satu unggahan terakhirnya di Instagram, ia menuliskan kerinduannya, “Apakah kita akan bertemu? Jarak telah meremukkan hatiku. Apakah kita akan bersatu setelah penantian yang membakar? Sungguh, hidup telah berhenti, dan tiada lagi fajar yang cerah di malam perpisahanmu.”
Kepergian Khalid Nabhan bukan hanya menambah satu nama dalam daftar panjang syuhada. Ini adalah kelahiran sebuah kisah kepahlawanan—kisah duka yang melampaui zaman. Ini adalah cerita generasi yang dipersatukan oleh agresi Israel dalam kafan yang diwarnai kata-kata penuh luka, doa yang tulus, dan keteguhan perjuangan. Dari senyum bayi yang gugur sebelum tali pusarnya terputus, hingga semangat “Ruh dari Ruh” yang mengajarkan bahwa kehidupan di Gaza adalah perlawanan yang tak pernah padam.
Khalid Nabhan pergi meninggalkan dunia ini, membawa cinta dan duka yang mendalam, menuju peristirahatan para syuhada dan pejuang, menuju surga yang luas, penuh kedamaian… menuju “Ruh dari Ruhnya”.
Sumber: Al Jazeera