Orian 21 membuka laporannya dengan kalimat tajam: setiap kritik terhadap perang Israel di Gaza selalu dikelola secara sistematis (dijinakkan, dipelintir, dan dikurung dalam bingkai media-politik) hingga bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung tampak seolah wajar, bahkan tak lagi disebut dengan namanya yang sesungguhnya.

Arnaud Mary, penulis artikel itu, menggambarkan adanya “kubus besi” simbolik,sebuah benteng propaganda yang selama ini menangkis setiap sikap tegas membela Gaza dan menentang para algojonya. Namun, tembok itu mulai retak.

Meski kuncinya belum benar-benar terlepas, gemboknya perlahan mengendur. Mary menunjukkan perubahan nyata: media besar seperti Le Monde mulai berani menulis dengan nada berbeda, meski terlambat. Wajah-wajah tirus dan tubuh kurus anak-anak Gaza akibat kelaparan kini tak bisa lagi dipoles. Fakta kemanusiaan terlalu telanjang untuk ditutup. Dunia akhirnya dipaksa melihat bahwa genosida sedang berlangsung di depan mata.

Media Dibungkam, Kritik Dikriminalisasi

Namun masalah terbesar adalah menyebut pelaku dengan jelas. Di lanskap media 2025, tugas ini nyaris mustahil. Seperti ditulis Serge Halimi dan Pierre Rimbert di Le Monde Diplomatique, kerja jurnalistik sejati kian sulit karena benturan dengan “lobi pro-Israel” yang solid, agresif, dan efektif membungkam suara kritis.

Siapa pun yang berani menempatkan Benjamin Netanyahu dalam daftar penjahat perang segera diserang dan dipinggirkan. Orian 21 menyinggung euforia sebagian kalangan atas pernyataan Emmanuel Macron: seruan membuka jalur kemanusiaan, gencatan senjata segera, hingga pengakuan simbolik terhadap negara Palestina.

Tetapi, setelah bertahun-tahun bersekongkol dengan Netanyahu, langkah Macron lebih tampak sebagai upaya menyelamatkan citra yang hancur di panggung internasional. Mary memprediksi negara lain mungkin akan mengikuti jejak Prancis, bukan karena keberanian politik, melainkan karena tekanan rakyat yang marah dan kenyataan tragedi yang tak lagi bisa disembunyikan.

Namun pertanyaan pedih pun muncul: apa arti pengakuan atas sebuah negara yang tanahnya sudah porak-poranda, dan rakyatnya dikurung dalam ancaman kemusnahan?

Sistem Ketakutan

Mary menyebutnya “sistem teror”: bukan teror kelaparan dan bom yang dialami Gaza, melainkan teror politik yang melarang menyebut apa yang terjadi sebagai genosida. Kata-kata kunci seperti “pemusnahan”, “kelaparan sistematis”, atau “kamp konsentrasi” dihapus dari kosakata publik. Proses pembungkaman pun berlangsung berlapis.

Siapa pun yang mengkritik Israel harus terlebih dulu mengakui tragedi 7 Oktober 2023 sebagai “tak tertandingi”, seolah itu memberi Israel hak mutlak untuk menghukum sesuai kehendak. Tahap berikutnya adalah menerima narasi bahwa Israel selalu terancam, sehingga ekspansi wilayah sekalipun dianggap bagian dari “pembelaan diri.”

Lalu, perang opini dikunci dengan stempel bahwa semua suara dari Gaza hanyalah “propaganda Hamas.” Bahkan tokoh publik seperti filsuf Raphael Enthoven terang-terangan menyebut “di Gaza tak ada jurnalis, hanya pembunuh bersenjata kartu pers.” Fitnah itu baru ia tarik sebulan kemudian, setelah wartawan Al Jazeera Anas al-Sharif syahid akibat serangan Israel.

Zona Abu-abu dan Ilusi Demokrasi

Jika semua syarat itu dipenuhi, barulah kritik diperbolehkan—namun hanya di “zona abu-abu.” Di sinilah seseorang boleh menyatakan belas kasihan pada anak-anak Gaza, atau bahkan menyebut Netanyahu “berlebihan.”

Tapi ini hanyalah ilusi demokrasi, mirip adegan film The Zone of Interest, sebuah kehidupan normal di tepi kamp Auschwitz, sementara genosida berjalan di balik pagar. Mary menegaskan: dalam logika inilah, perang tak lagi menjadi alat politik.

Ia telah berubah menjadi tujuan itu sendiri, pemusnahan sebagai kebijakan. Dari candaan Netanyahu soal “es krim di kamp pengungsian,” hingga seruan menteri Israel Amichai Eliyahu menjatuhkan bom nuklir di Gaza, semua menunjukkan watak proyek “Israel Raya” yang tak lagi ditutup-tutupi.

Celah Perlawanan

Namun retakan mulai tampak. Gugatan hukum internasional menargetkan prajurit Israel atas kejahatan perang. Amnesty International menuduh penggunaan kelaparan sebagai senjata. Perusahaan besar seperti Carrefour dan bank BNP Paribas menghadapi tuntutan atas keterlibatan mereka dalam genosida. Mary menutup artikelnya dengan bayangan akan “peristiwa mustahil”, momen yang melampaui realitas yang dipaksakan, membuka celah baru menuju keadilan.

Ia mengutip Mahmoud Darwish: “Kami akan terus menulis diam kami, lalu meledakkannya dengan suara siapa pun yang menantang maut di puing-puing dan tetap bertahan.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here