Dalam beberapa tahun terakhir, langkah pendudukan Israel di Tepi Barat semakin terang-terangan. Bukan lagi sebatas kontrol militer atau pembangunan permukiman ilegal, tapi sebuah proyek sistematis menuju pencaplokan permanen, melampaui garis gencatan senjata 1967 yang dulu menjadi batas de facto wilayah Palestina.
Pada 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa Tel Aviv telah melangkah jauh, melakukan “aneksasi de facto” terhadap sebagian besar wilayah Tepi Barat. Banyak kewenangan administratif yang semula berada di bawah otoritas militer kini dialihkan ke lembaga-lembaga sipil Israel, sebuah sinyal bahwa hukum Israel mulai diberlakukan di wilayah yang secara hukum internasional bukan milik mereka.
Sebuah laporan terbaru dari International Crisis Group (ICG) berjudul “Sovereignty Without a Name: Israel’s Accelerating Annexation of the West Bank” menegaskan bahwa sejak 2022 (ketika menteri-menteri sayap kanan ekstrem bergabung dalam pemerintahan Benjamin Netanyahu) proses pencaplokan ini bukan hanya dipercepat, tapi juga dilegalkan secara de facto.
ICG menyerukan agar komunitas internasional menghadapi realitas yang diciptakan Israel: penghapusan sistematis kemungkinan berdirinya negara Palestina. Laporan itu mendesak langkah konkret (mulai dari sanksi perdagangan hingga pembatasan ekspor senjata) sebagai tekanan terhadap Tel Aviv.
Dari Kolonisasi ke “Israel Raya”
Laporan ICG menggambarkan bagaimana ide tentang “Israel Raya” kini bukan lagi wacana pinggiran. Sejak kabinet Netanyahu terbentuk pada 2022, arus politik pro-pemukiman semakin kuat. Menteri Keuangan sekaligus pejabat di Kementerian Pertahanan, Bezalel Smotrich, dikenal dengan pandangan ekstrem anti-Palestina, berperan besar dalam memperluas kontrol atas tanah Palestina.
Di bawah kewenangannya, banyak komunitas Palestina diusir dari lahan mereka sendiri dan dipaksa tinggal di area terisolasi di bawah pengawasan ketat tentara pendudukan. Fakta ini dikuatkan oleh pendapat hukum ICJ pada Juli 2024, yang menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan pencaplokan wilayah secara ilegal.
Antara Tekanan Internasional dan Normalisasi
Meskipun Israel secara praktik sudah menguasai sebagian besar Tepi Barat, negara itu masih enggan mengumumkan pencaplokan secara resmi, karena itu berarti mengakui dirinya sebagai rezim apartheid yang melanggar hukum internasional dengan merebut wilayah melalui kekerasan.
Namun, dukungan politik Amerika Serikat telah memberi Israel mandat tak tertulis untuk melanjutkan “aneksasi merayap” tersebut. Di sisi lain, perang di Gaza dan gelombang pengakuan terhadap Negara Palestina telah membuka kembali peluang diplomatik untuk menekan Israel membatasi ekspansi dan pelanggaran hak asasi manusia di Tepi Barat.
Langkah-langkah konkret seperti penangguhan perjanjian dagang antara Uni Eropa dan Israel atau pengaitan normalisasi hubungan oleh negara-negara Arab dengan isu Palestina, bisa menjadi cara untuk menahan laju pencaplokan ini.
Kenyataan Baru yang Menghapus Garis Batas
ICG menyebut apa yang terjadi saat ini sebagai restrukturisasi pendudukan. Israel secara perlahan memindahkan otoritas pemerintahan di Tepi Barat dari institusi militer ke lembaga sipil, membentuk struktur kekuasaan permanen. Hasilnya: batas antara wilayah Israel dan Tepi Barat semakin kabur, sementara ruang hidup rakyat Palestina semakin menyempit.
Bagi warga Palestina, kebijakan ini bukan sekadar hilangnya tanah, tetapi lenyapnya kemungkinan hidup normal di tanah air sendiri.
Apa yang Harus Dilakukan Dunia?
Menurut ICG, dunia tidak bisa terus menunggu “pencaplokan resmi” yang mungkin tak akan pernah diumumkan. Tekanan politik dan ekonomi harus diberikan sekarang (melalui embargo senjata, pembatasan investasi, hingga sanksi dagang) untuk menghentikan pengukuhan status quo.
Laporan itu menutup dengan peringatan tajam, “Israel mungkin tidak akan berubah dalam waktu dekat. Tapi bila komunitas internasional bertindak dengan konsistensi, kesabaran, dan koordinasi, perubahan masih mungkin terjadi. Jika tidak, maka yang akan lahir bukan perdamaian, melainkan pendudukan yang dilegalkan.”










