“Perang ini akan berakhir. Lapar ini akan hilang. Dan aku akan tetap mengejar mimpiku. Mereka tidak akan pernah mampu mematahkan tekad kami.” Demikian kata-kata penuh semangat dari Ubaidah Atwan, bocah 15 tahun dari Gaza, yang kini harus hidup dengan satu kaki dan satu tangan setelah tubuh kecilnya dihantam rudal Israel.
Hari itu, 21 Maret, akan selamanya membekas dalam ingatannya. Sebuah rudal yang dijatuhkan drone Israel menghantam tenda tempat tinggal keluarganya di Deir al-Balah. Saat itu ia baru saja kembali dari membeli kebutuhan untuk ibunya. Tanpa peringatan, rudal itu datang, mencabik tenda dan tubuhnya sekaligus. Kaki dan tangan kanannya terputus. Ia bersimbah darah, lalu dilarikan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, hingga akhirnya dirawat di rumah sakit lapangan milik Komite Palang Merah Internasional di Khan Younis.
Adiknya, Ayat, 10 tahun, juga ikut terluka. Sebuah serpihan logam menembus punggungnya. Dokter tak bisa mengangkatnya, dan luka itu akan terus menyisakan nyeri, meski ia masih bisa berjalan.
Ubaidah telah menjalani beberapa operasi, namun pengobatan lanjutan tak bisa dilakukan di Gaza yang tengah dicekik dari segala arah, tak ada dokter spesialis, tak ada alat, tak ada obat. Bahkan harapan pun nyaris punah di bawah blokade yang mematikan.
Luka dan Kelaparan yang Tak Pernah Pergi
Di malam hari, nyeri menyiksa Ubaidah. Di siang hari, ia nyaris pingsan karena kekurangan gizi. Ia membutuhkan makanan tinggi protein dan kalsium, tapi Gaza kini seperti lemari kosong, hanya menyisakan sedikit barang yang dijual dengan harga selangit. Keluarganya, seperti jutaan warga lainnya, tak mampu membeli. Ibunya, Fatimah, hanya bisa menatap anaknya dengan hati remuk, tak mampu menyuapinya makanan layak.
“Apa yang kami makan?” jawab sang ibu kepada Al Jazeera, “Kami hidup hari demi hari, hanya berharap belas kasih dari Allah.”
Sudah tiga pekan mereka tak punya tepung untuk membuat roti. Makanan sehari-hari mereka? Sup lentil, atau ‘daqah’, bumbu dari lentil tumbuk yang diracik sekadarnya.
Beberapa hari lalu, truk bantuan akhirnya masuk ke Gaza. Tapi bantuan itu tak sampai ke tangan rakyat. Dijarah di tengah jalan oleh gerombolan bersenjata, lalu dijual di pasar gelap dengan harga tak masuk akal. Untuk membeli satu karung tepung ukuran 25 kg, ayah Ubaidah, yang hanya bergaji 800 shekel (sekitar 285 dolar), harus merogoh lebih dari 1.500 shekel (sekitar 440 dolar). Tak mungkin.
Ketika Mimpi Dipotong oleh Rudal
Sebelum perang, Ubaidah adalah pemain muda di akademi sepak bola. Mimpinya sederhana: menjadi pemain profesional dan mengenakan jersey Barcelona, klub yang ia cintai sejak kecil.
Kini, mimpinya tidak mati, meski kakinya telah tiada. “Rudal itu memang memutus kakiku, tapi tidak memutus impianku,” katanya dengan mata berbinar. Ia berharap ada kesempatan untuk berobat ke luar negeri, dipasangi kaki dan tangan prostetik, lalu kembali ke lapangan hijau, dalam tim sepak bola amputasi.
Sambil menahan rindu pada bola, Ubaidah kini menghafal Al-Qur’an. Keyakinannya pada takdir membuatnya tegar menghadapi ujian.
“Allah pasti memilihkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Aku ridha. Yang kupinta hanya hakku untuk berobat, sebelum lukaku memburuk,” tuturnya.
620 Atlet Gaza Syahid
Sejak perang meletus pada 7 Oktober 2023, Komite Olimpiade Palestina mencatat: setidaknya 620 atlet gugur. Mayoritas mereka adalah anak muda usia 6–20 tahun. Ratusan lainnya terluka, banyak di antaranya harus kehilangan anggota tubuh.
Di Gaza, bahkan bermain bola bisa berujung maut. Tapi bagi Ubaiyyah, harapan tetap hidup, di bawah reruntuhan, di balik luka, dan dalam ingatan akan mimpi yang belum mati.