Seorang remaja Palestina berusia 15 tahun mengalami luka parah di kepala setelah pasukan Israel menembakkan granat ke arahnya di kawasan selatan Tepi Barat, Senin (27/10). Dalam waktu yang hampir bersamaan, otoritas pendudukan mengeluarkan lima perintah militer baru untuk menyita sekitar 73 donum (setara 73 ribu meter persegi) tanah warga di wilayah Ramallah dan Al-Bireh, mengatasnamakan “keamanan” dan “operasi militer”.
Insiden itu terjadi di Desa Beit Awwa, barat daya Hebron, ketika pasukan Israel menyerbu permukiman dan menembakkan gas air mata serta granat ke rumah-rumah warga. Saat pasukan mulai mundur, mereka menembakkan granat suara tepat ke arah kepala Nazih Iyad Awad, siswa sekolah menengah berusia 15 tahun yang sedang dalam perjalanan ke sekolah. Kondisinya kini kritis.
Penyitaan Tanah dan Perluasan Permukiman
Badan Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman Palestina menyebut, kelima perintah penyitaan lahan itu mencakup wilayah Kafr Malik, Deir Jarir, Al-Tayyibah, dan Ras Karkar. Tujuannya: membangun “zona penyangga” dan jalan militer yang menghubungkan pos-pos permukiman ilegal Israel.
Sejak Oktober 2023, Israel telah membangun 30 zona penyangga baru di Tepi Barat, sebuah kebijakan yang dinilai para pengamat sebagai langkah sistematis untuk memperkuat kontrol atas tanah Palestina dan menciptakan “realitas permanen” di lapangan.
Di waktu bersamaan, buldoser militer juga meratakan lahan warga di Jabal Jouhan, kawasan timur laut Hebron. Menurut laporan Al Jazeera, tindakan ini bertujuan memperluas pos permukiman baru yang didirikan oleh pemukim Israel setahun lalu.
Masa Panen yang Dihalang-halangi
Sementara itu, pelanggaran terhadap warga sipil terus berlanjut. Pemukim Israel dilaporkan melepaskan ternak di antara rumah-rumah warga di Masafer Yatta, selatan Hebron, serta menghalangi akses kendaraan di Desa Al-Zuwaidin di kawasan yang sama.
Di Ramallah, pasukan Israel melarang para petani di Desa Sinjil memasuki kebun mereka untuk memanen zaitun, komoditas yang menjadi sumber penghidupan utama warga. Hal serupa terjadi di Beit Furik, timur Nablus, di mana tentara dan pemukim memaksa petani meninggalkan lahan mereka.
Bagi warga Tepi Barat, musim panen zaitun tahun ini kembali berlangsung di bawah bayang-bayang kekerasan dan intimidasi.
Gelombang Penangkapan dan Represi
Di tengah situasi ini, tentara Israel melancarkan gelombang penangkapan di berbagai kota dan desa di Tepi Barat. Sedikitnya 21 warga Palestina ditangkap, termasuk Jamal al-Tawil, mantan wali kota Al-Bireh dan salah satu tokoh senior Hamas. Al-Tawil merupakan mantan tahanan politik yang baru dibebaskan dua pekan lalu dalam pertukaran tawanan “Thufan al-Ahrar 3”.
Laporan Office of Prisoners’ Media menyebut, saat ini terdapat lebih dari 10.000 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel—termasuk anak-anak dan perempuan. Mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis, kondisi yang telah menewaskan banyak tahanan dalam dua tahun terakhir.
Sejak 2023, eskalasi di Tepi Barat telah menewaskan lebih dari 1.050 warga Palestina dan melukai hampir 10.000 orang, dengan lebih dari 20.000 penangkapan dilakukan oleh Israel, termasuk 1.600 anak-anak.
Kekerasan demi kekerasan ini menggambarkan satu hal: pendudukan Israel tidak hanya menindas tubuh, tapi juga mencuri masa depan Palestina, hektar demi hektar, nama demi nama, hingga nyaris tak tersisa ruang untuk bernapas.










