Israel kembali dikritik karena bertindak sepihak dalam menilai komitmen Hamas terhadap perjanjian gencatan senjata. Di tengah tekanan internal dan gejolak politik dalam negeri, Israel kini memanfaatkan isu pemulangan jenazah tawanan sebagai alat tawar-menawar politik.

Keluarga para tawanan Israel disebut semakin frustrasi. Mereka menuntut jawaban dan pemulangan jenazah anggota keluarga mereka. Namun faktanya, sejak jauh sebelum kesepakatan dicapai, para pejabat Israel sudah tahu proses ini akan memakan waktu lama. Intelijen Israel bahkan mengakui sejak Januari bahwa sebagian jenazah kemungkinan besar tidak akan pernah ditemukan akibat masifnya kehancuran di Gaza.

Di lapangan, proses pencarian jenazah nyaris mustahil tanpa bantuan alat berat. Lebih dari 55 juta ton puing akibat agresi militer Israel menutup kawasan permukiman. Lebih dari 10 ribu warga Palestina masih hilang di bawah reruntuhan. Upaya pencarian jelas membutuhkan waktu, akses, dan bantuan kemanusiaan, sesuatu yang justru kembali dibatasi oleh Israel.

Israel kini memperketat distribusi bantuan dan kembali menjadikan makanan, obat-obatan, air, serta peralatan rekonstruksi sebagai senjata tekanan politik. Jumlah truk bantuan yang masuk Gaza kembali dipangkas. Israel juga memosisikan diri sebagai pihak yang menentukan apakah Hamas mematuhi kesepakatan, meskipun teks perjanjian tidak mencantumkan batas waktu pemulangan jenazah.

Padahal, dalam perjanjian yang ditandatangani Donald Trump di Sharm el-Sheikh, disepakati bahwa setiap perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui dialog. Saat ini, ada 200 tentara Amerika yang dikerahkan ke Israel untuk memantau implementasi gencatan senjata tersebut. Mereka memberi ruang bagi Israel mempertahankan kontrolnya, melakukan tekanan politik, hingga membatasi Gaza, namun tetap berhenti satu langkah sebelum kembali ke serangan militer besar-besaran.

Sumber: Laporan Jurnalis Al Jazeera, Nour Odeh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here