Khalid Mishal, Kepala Biro Politik Hamas di luar negeri, menegaskan bahwa perlawanan Palestina tengah menawarkan pendekatan yang dianggap lebih realistis dan operasional untuk menjamin bahwa Israel tidak kembali menghadapi serangan dari Jalur Gaza, tanpa harus melalui proses pelucutan senjata.
Dalam wawancara untuk program Mawazin yang tayang Rabu malam di Al Jazeera, pukul 22.05 waktu Mekah, Mashal menekankan bahwa otoritas di Gaza harus tetap berada di tangan rakyat Palestina. “Yang memutuskan adalah orang Palestina sendiri, dan merekalah yang akan memerintah,” ujarnya.
Mishal menilai ancaman sebenarnya datang dari Israel, bukan dari Gaza yang justru terus didorong untuk menyerahkan senjatanya. Ia menambahkan bahwa percepatan bantuan kemanusiaan bagi Gaza menjadi kunci untuk mendorong transisi menuju fase kedua kesepakatan penghentian perang. Menurutnya, Hamas berupaya mencapai tahap itu dengan berbagai cara yang memungkinkan.
Ia juga melihat bahwa isu Palestina kini kembali menjadi poros pembicaraan di kawasan. “Perjuangan ini keluar dari laci-laci yang lama menahannya, dan kini memaksa semua pihak untuk memperhitungkan kembali posisi mereka,” katanya.
Mishal menyebut bahwa Gaza telah menanggung beban yang sangat berat dan saatnya wilayah itu diberi ruang untuk pulih—membangun kembali kehidupannya sendiri. Ia menegaskan bahwa Gaza tidak lagi dibebani tuntutan untuk terus menembakkan roket, namun menanggalkan senjata bagi rakyat Palestina, menurutnya, sama saja dengan “menanggalkan ruh.” Ia memastikan bahwa Hamas telah menyampaikan kepada para mediator bahwa Gaza membutuhkan dukungan untuk bangkit kembali.
Pernyataan Mishal hadir di tengah dorongan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang ingin mempercepat masuknya proses ke fase kedua dari kesepakatan gencatan senjata, fase yang sensitif karena memuat isu sentral mengenai senjata Hamas.
Sementara Israel bersikeras bahwa pelucutan senjata perlawanan adalah syarat mutlak sebelum fase kedua berjalan, Hamas dan kelompok perlawanan lain menegaskan bahwa senjata hanya bisa dibahas dalam kerangka diskusi nasional, dan hanya dapat dialihkan kepada sebuah negara Palestina yang merdeka.
Sumber: Al Jazeera










