Organisasi Reporter Tanpa Batas (Reporters Without Borders/RSF) kembali mendesak Israel untuk membuka akses ke Jalur Gaza bagi jurnalis. Seruan ini disampaikan pada Selasa (21/10), menyoroti larangan yang telah berlangsung sejak Oktober 2023, sejak perang Israel di wilayah itu berubah menjadi bencana kemanusiaan berkepanjangan.
Dalam pernyataannya, RSF menyebut telah bergabung dalam gugatan hukum yang diajukan Foreign Press Association (FPA) ke Mahkamah Agung Israel. Melalui nota hukum yang diserahkan pada 15 Oktober lalu, RSF menegaskan bahwa larangan terhadap jurnalis internasional “melanggar prinsip dasar kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi.”
Menurut RSF, kebijakan ini tidak hanya membungkam suara dunia, tapi juga “mengisolasi jurnalis Palestina yang selama ini menjadi satu-satunya saksi mata di lapangan.” Tanpa kehadiran media internasional, mereka harus bekerja di bawah ancaman gempuran militer dan menghadapi kampanye disinformasi yang menstigmatisasi kerja jurnalistik mereka.
Antoine Bernard, Direktur Advokasi dan Bantuan RSF, menyebut tindakan Israel sebagai “blokade total terhadap jurnalis independen” yang telah diberlakukan selama hampir dua tahun.
“Lebih dari 210 jurnalis Palestina telah terbunuh di Gaza. Sedikitnya 56 di antaranya meninggal saat menjalankan tugas jurnalistik atau karena aktivitas liputannya,” kata Bernard. “Ini bukan sekadar statistik, tapi potret kelam dari pelanggaran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang independen, kredibel, dan beragam.”
RSF menegaskan bahwa pelarangan akses ini bukan hanya tindakan administratif, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mengendalikan narasi perang. Dengan menutup Gaza bagi media independen, Israel pada dasarnya berusaha memastikan bahwa cerita tentang penderitaan warga sipil hanya terdengar dari satu sisi-sisinya sendiri.