Langkah mundur pasukan Israel dari sebagian wilayah Jalur Gaza ke garis yang disebut “garis kuning” pada 10 Oktober lalu, semestinya menjadi awal dari tahap pertama pelaksanaan gencatan senjata antara Hamas dan Israel, kesepakatan yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, Turki, dan Amerika Serikat.

Namun, bukannya menuju ketenangan, “garis kuning” justru berubah menjadi celah baru bagi pelanggaran. Berdasarkan peta resmi, pasukan pendudukan masih menguasai sekitar 50 persen wilayah Gaza hingga tahap berikutnya dijalankan. Akibatnya, ribuan warga di Rafah selatan, Khan Younis timur, serta kawasan Beit Lahiya dan Beit Hanoun di utara belum bisa kembali ke rumah mereka.

Lebih dari itu, Israel tetap menembakkan artileri ke wilayah-wilayah yang seharusnya berada di luar garis kontrol militernya, sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap kesepakatan gencatan senjata.

Pelanggaran yang Terus Berulang

Data lapangan yang dihimpun Al Jazeera menunjukkan pasukan Israel masih menempati area di sekitar Jalan Salahuddin di kamp Jabalia, meski lokasi tersebut sudah berada di sisi barat garis penarikan. Akibatnya, sekitar 100 ribu pengungsi di Jabalia tak bisa kembali ke rumah mereka.

Ironisnya, Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz justru mengumumkan bahwa pasukannya akan “menandai garis kuning secara jelas di lapangan,” dengan alasan agar menjadi “peringatan bagi Hamas dan warga Gaza bahwa setiap upaya melintasi garis itu akan dibalas dengan tembakan.”

Namun, pernyataannya terbantahkan hanya beberapa jam kemudian. Senin pagi, dua warga Palestina gugur dan satu lainnya luka-luka akibat tembakan pasukan Israel di kawasan Asy-Sya’f, timur Kota Gaza, di luar wilayah yang disebut “garis kuning.”

80 Pelanggaran, 97 Syahid

Menurut data Kantor Media Pemerintah di Gaza, sejak deklarasi penghentian perang, Israel telah melakukan sedikitnya 80 pelanggaran yang menewaskan 97 warga Palestina dan melukai 230 lainnya.

“Pelanggaran ini mencakup penembakan langsung, pemboman, serangan udara, dan penangkapan warga sipil,” ungkap Direktur Kantor Media, Ismail Ats-Tsawabita, kepada Al Jazeera. Ia menegaskan, “Semua ini menunjukkan watak agresif Israel dan dahaga mereka akan darah serta kekerasan.”

Serangan itu dilakukan dengan tank, drone tempur, hingga alat pengintai yang dilengkapi sistem penembakan otomatis. Drone jenis quadcopter bahkan terus berputar di langit Gaza setiap hari, menembakkan peluru ke arah warga sipil yang mencoba kembali ke rumah mereka.

Ats-Tsawabita menuntut PBB dan negara-negara penjamin kesepakatan segera turun tangan. “Dunia harus menghentikan agresi yang terus berjalan di bawah nama gencatan senjata,” ujarnya.

Hamas: Garis Kuning Adalah Ilusi

Dalam pernyataannya, Hamas menuding Israel secara sistematis melanggar kesepakatan dengan memperluas kontrol militernya hingga 1,5 kilometer ke arah selatan dan timur Jalur Gaza. Wilayah seluas 45 kilometer persegi kini berubah menjadi zona militer tertutup, tanpa kehidupan sipil.

“Israel sedang menciptakan realitas baru,” bunyi pernyataan Hamas, “dengan mengosongkan daerah-daerah perbatasan dari penduduknya dan menjadikannya sabuk keamanan permanen.”

Strategi Pendudukan Baru

Analis militer Rami Abu Zubeida menyebut “garis kuning” bukan sekadar batas teknis. “Ini bukan garis gencatan senjata,” ujarnya, “melainkan simbol dari bentuk baru pendudukan jangka panjang.”

Menurutnya, garis itu dirancang untuk menciptakan kontrol militer de facto di lebih dari separuh wilayah Gaza, memungkinkan pasukan Israel melakukan serangan kapan saja dengan dalih keamanan. “Israel ingin mengubah Gaza menjadi zona militer yang senantiasa diawasi dan siap ditembak,” katanya.

Lebih jauh, Abu Zubeida memperingatkan bahwa kebijakan ini akan memaksa perubahan demografis. “Ketika warga tidak bisa kembali ke rumah mereka di utara dan timur Gaza, kawasan itu perlahan akan menjadi sabuk kosong tanpa kehidupan sipil, zona abu-abu yang menguntungkan proyek lama Israel: menciptakan ‘buffer zone’ dengan nama baru.”

Ia menutup penjelasannya, “Garis kuning bukan tanda berakhirnya perang, tapi permulaan babak baru dari pendudukan yang disamarkan lewat peta, peringatan, dan bahasa diplomasi.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here