Spirit of Aqsa, Palestina- The New York Times menerbitkan sebuah berita tentang permintaan maaf PM Benjamin Netanyahu setelah menyalahkan kepala keamanan Israel atas kegagalan mengantisipasi operasi Taufan Al-Aqsa.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang belum bertanggung jawab atas kekalahan Israel dalam operasi Taufan Al-Aqsa, menghapus sebuah unggahan di media sosial yang menyudutkan badan-badan keamanan.
Perpecahan dan kekacauan di antara para pemimpin tertinggi Israel meletus ke permukaan pada Ahad (29/10). Saat itu, Netanyahu menyalahkan militer dan lembaga keamanan atas kekalahan mereka atas operasi Taufan Al-Aqsa.
Komentar-komentar Netanyahu di X memicu respon yang sangat keras, termasuk dari dalam kabinet perangnya sendiri. Postingan tersebut telah dihapus, dan Netanyahu meminta maaf dalam sebuah postingan baru, dengan mengatakan: “Saya salah.”
Di antara yang pertama kali mengecam komentar Netanyahu adalah Benny Gantz, mantan menteri pertahanan dan kepala militer sentris meninggalkan barisan oposisi parlemen untuk bergabung dengan kabinet perang darurat Netanyahu beberapa hari setelah pembantaian 7 Oktober.
Banyak pejabat senior, termasuk kepala militer dan keamanan serta menteri pertahanan, Yoav Gallant, telah menerima tanggung jawab atas kelengahan Israel. Namun, Netanyahu menolak untuk mengakui kekalahan memalukan tersebut.
Netanyahu mengatakan beberapa kali bahwa bahwa setelah perang, pertanyaan-pertanyaan sulit akan ditanyakan kepada semua orang, termasuk dirinya sendiri. Terbaru pada konferensi pers pada Sabtu malam (28/10) waktu setempat.
Penolakan Netanyahu untuk secara terbuka menerima kesalahan telah mengguncang kepercayaan terhadap kepemimpinannya. Bahkan ketidakpercayaan itu sudah ada sebelum operasi Taufan Al-Aqsa. Operas Hamas kian memperparah posisi Netanyahu di tingkat politik dalam negeri.
Survei opini sejak 7 Oktober telah mengindikasikan kepercayaan publik yang sangat besar terhadap militer dan anjloknya kepercayaan terhadap pejabat pemerintah.
Konferensi pers pada Sabtu (29/100 merupakan upaya pemerintah untuk menunjukkan persatuan: Netanyahu, Gallant dan Gantz tampil berdampingan, dan perdana menteri menjawab pertanyaan dari wartawan untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober.
Namun, sampai saat ini belum ada kata sepakat antara pejabat pemerintahan Israel dan militer terkait invasi darat ke Gaza. Proposal serangan darat dinilai rapuh, dan Netanyahu khawatir kalah dan pada akhirnya disalahkan lagi. Di saat bersamaan Netanyahu juga didesak untuk pertukaran tawanan.
Mengutip Arabic RT, dua pejabat yang menghadiri pertemuan pemerintah Israel mengungkapkan bahwa kepemimpinan militer telah memberikan sentuhan akhir pada rencana invasi darat. Namun, Netanyahu membuat marah para perwira senior dengan menolak menandatanganinya, sebagian karena ia menginginkan persetujuan dengan suara bulat dari anggota kabinet perang.
Para analis yakin Netanyahu enggan memberikan lampu hijau secara sepihak karena kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya sudah menurun. Dia khawatir akan disalahkan jika proses tersebut gagal.
Dua pejabat senior militer mengatakan bahwa di kalangan militer, ada kekhawatiran bahwa tujuan Israel akan menjadi tidak jelas jika Netanyahu memenuhi janjinya untuk berusaha membebaskan semua sandera sekaligus mencoba menghancurkan Hamas. Hal itu menunjukkan, tujuan pertama membutuhkan negosiasi dan penyelesaian dengan Hamas. Sedangkan tujuan kedua memerlukan pemusnahan Hamas, yang merupakan hal sulit dicapai.
Sumber: New York Time + Arabic RT