Spirit of Aqsa- Perekonomian Israel terus mengalami penyusutan drastis dari perkiraan menyusul pembantaian yang terus berlanjut terhadap warga sipil di Jalur Gaza. Pembantaian tersebut memaksa warga untuk mengevakuasi rumah mereka dan menyebabkan militer memanggil ratusan ribu tentara cadangan.

Pemanggilan tentara cadangan itu diketahui telah menghabiskan sekitar 8 persen tenaga kerja, menyebabkan adanya pembatasan yang memicu jatuhnya manufaktur secara tiba-tiba, mengguncang konsumsi, dan mengosongkan sekolah, kantor dan lokasi konstruksi seketika.

Terbaru, pertumbuhan ekonomi (PDB) Israel anjlok 19,4 persen secara tahunan pada kuartal IV 2023. Padahal, pada kuartal sebelumnya, yakni Juli hingga September, PDB negara tersebut masih tumbuh 1,8 persen. Penurunan tajam itu menjadi yang pertama dalam dua tahun terakhir.

Melansir CNN, anjloknya ekonomi Israel didorong oleh penurunan konsumsi swasta sebesar 26,9 persen karena kepercayaan anjlok setelah Hamas melancarkan serangan negara tersebut pada 7 Oktober 2023 silam. Begitu juga rumah tangga mengurangi pengeluaran.

Sementara investasi oleh dunia usaha anjlok 67,8 persen didorong oleh hampir terhentinya pembangunan perumahan akibat panggilan militer dan pengurangan pekerja Palestina.

Sementara itu, mata uang shekel Israel sedikit melemah 0,4 persen pada kisaran 3,62 per dolar AS.

Konflik antara Israel dan Hamas diperkirakan bakal merugikan Israel sekitar 255 miliar shekel atau sekitar US$70,3 miliar hingga akhir 2025. Jumlah tersebut setara dengan 13 persen pendapatan domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Utang Israel pun dilaporkan tembus 160 miliar shekel atau setara Rp697,38 triliun pada sepanjang 2023 silam. Utang ini melesat dua kali lipat jika dibandingkan dengan 2022 yang hanya 63 miliar shekel.

Kementerian Keuangan Israel menyebut 81 miliar shekel yang dihimpun pada 2023 kemarin tersebut dihimpun sejak pecahnya perang Israel-Hamas. Lonjakan itu membuat rasio utang Israel melesat dari 60,5 persen dari PDB pada 2022 menjadi 62,1 persen pada 2023 kemarin.

Akuntan Jenderal Yali Rotenberg mengatakan lonjakan utang itu memang tak terhindarkan. Pasalnya, 2023 adalah tahun yang penuh tantangan dan membutuhkan peningkatan tajam dalam kebutuhan pembiayaan.

“Ada kebutuhan penyesuaian taktis dan strategis dalam rencana peningkatan utang pemerintah,” katanya pekan lalu seperti dikutip dari Reuters.

Rasio itu diperkirakan masih akan meningkat lagi menjadi 67 persen pada 2024 ini. Peningkatan itu tak lepas dari lonjakan belanja perang Israel.

Sementara, Badan Pusat Statistik Israel melaporkan tingkat pengangguran di Israel melonjak mencapai 9,6 persen pada Oktober 2023 silam usai pecahnya perang tersebut. Diketahui, 428.400 orang menganggur dibandingkan 163.600 orang di bulan sebelumnya.

Setelah serangan tersebut, hampir 400 ribu warga Israel dipanggil untuk tugas cadangan. Sedangkan data resmi menunjukkan bahwa sekitar 80 ribu warga Israel ditempatkan pada cuti tanpa bayaran dalam beberapa minggu terakhir.

Tingkat ketenagakerjaan pada Oktober turun menjadi 56,5 persen dari 61,1 persen.

Badan tersebut mencatat karena perang, mereka perlu melakukan perubahan pada survei angkatan kerja bulan lalu, dengan hampir tidak ada wawancara yang dilakukan seminggu setelah serangan.

Sementara semua wawancara berikutnya dilakukan melalui telepon dan bukan secara langsung.

Badan Pusat Statistik Israel menyatakan perang secara tajam membatasi pengeluaran, perjalanan atau wisata, dan investasi pada akhir tahun silam.

Pengeluaran swasta juga mengalami penurunan 26,3 persen, sementara ekspor turun 18,3 persen dan investasi aset tetap anjlok 67,8 persen terutama untuk bangunan tempat tinggal. Sektor konstruksi kewalahan karena kurangnya tenaga kerja karena panggilan wajib militer dan pengurangan pekerja Palestina.

Sebuah laporan tahunan juga mengungkap serangan Israel di Gaza telah secara signifikan merusak pendapatan 19,7 persen masyarakat Israel, dengan 45,5 persen menyatakan kekhawatiran akan semakin memburuknya kesulitan ekonomi.

Sebesar 100 persen badan amal yang didedikasikan untuk mendukung masyarakat miskin melaporkan tidak menerima bantuan dari pemerintah Israel sejak dimulainya invasi, meskipun ada peningkatan jumlah permintaan bantuan.

Garis kemiskinan alternatif, yang mewakili biaya hidup minimum, didefinisikan sebagai 5.107 shekel atau Rp22,7 juta per bulan untuk seorang individu dan 12.938 shekel atau Rp57,6 juta untuk satu keluarga yang terdiri dari dua orang dewasa dan dua anak.

Yang mengkhawatirkan adalah 81,8 persen penerima bantuan terlilit utang, 85,1 persen menderita kekurangan energi, 79,3 persen menderita penyakit kronis, 81,6 persen penerima bantuan lanjut usia hidup dalam kemiskinan, dan 31,5 persen menghadapi kerawanan pangan yang parah. Laporan ini menyoroti keberadaan segmen populasi yang tidak secara resmi diklasifikasikan sebagai kelompok miskin berdasarkan Asuransi Nasional, namun pada kenyataannya, hidup dalam kemiskinan.

Keluarga dengan pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan namun di bawah biaya hidup minimum menghadapi tantangan dalam memenuhi kondisi kehidupan yang penting, yang mengakibatkan tingkat kemiskinan yang bervariasi.

Laporan tersebut juga mengungkapkan 50,9 persen penerima bantuan mengurangi atau mengabaikan makanan karena kendala keuangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here