Seorang dokter bedah asal Amerika Serikat, Dr. Feroz Sidhwa, mengaku pengalaman medisnya di Gaza jauh melampaui segala kondisi darurat yang pernah ia hadapi di zona konflik lain seperti Ukraina, Haiti, dan Zimbabwe.
Dalam laporan +972 Magazine, Sidhwa yang merupakan spesialis bedah trauma dan perawatan intensif tiba di Gaza sebagai relawan medis dari California. Ia ditempatkan di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, yang kemudian menjadi target serangan udara Israel.
Serangan itu diklaim menyasar tokoh Hamas, Ismail Barhoum, namun justru menewaskan salah satu pasien Sidhwa, seorang remaja 16 tahun bernama Ibrahim.
“Saya tidak pernah membayangkan pasien saya bisa terbunuh di atas ranjang rumah sakit. Jika saya tidak dipindahkan ke ruang ICU, mungkin saya juga sudah tewas berdiri di sebelah Ibrahim,” ujar Sidhwa.
Sidhwa sempat kembali ke AS setelah misi pertamanya di Gaza, di mana ia bersama 100 tenaga medis lainnya mengirim surat terbuka kepada Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris, menyerukan penghentian perang dan pengiriman senjata AS ke Israel.
130 Pasien dalam 6 Jam
Maret lalu, ia kembali ke Gaza untuk misi keduanya di Rumah Sakit Nasser. Meski kondisi tetap genting, ia menyebut misi pertamanya lebih berat.
“Kami tiba di rumah sakit saat pertempuran di Khan Younis masih berlangsung. Tidak ada satu menit pun tanpa dentuman bom,” kenangnya.
Kondisi rumah sakit saat itu bahkan digunakan para pengungsi untuk memasak di area ICU, membuat operasi nyaris mustahil dilakukan. Kini, ia bekerja bersama dokter-dokter Palestina, dan rumah sakit belum menjadi target serangan langsung.
Meski tak memiliki hubungan pribadi dengan Palestina dan hanya menguasai sedikit bahasa Arab dan Ibrani, Sidhwa memilih kembali ke Gaza, menyadari gencatan senjata tak akan bertahan lama. Dan benar, di bulan Ramadan, Israel melancarkan serangan serentak ke sekitar 100 titik saat waktu sahur, menewaskan lebih dari 400 warga, termasuk 174 anak-anak.
“Pintu apartemen kami terbuka karena getaran ledakan dan membentur lemari. Itu yang membangunkan saya,” ujarnya.
Malam itu, ia dan tim medis menangani 130 pasien dalam enam jam.
“Saya melakukan enam operasi segera, dan tiga lainnya sepanjang hari. Setengahnya adalah anak-anak—jumlah yang lebih banyak dari yang saya tangani di AS selama setahun.”
Ia membandingkan kondisi itu dengan tragedi Boston Marathon 2013.
“Boston memiliki 4.000 tempat tidur trauma. Tapi jumlah pasien yang kami tangani dalam satu malam di Nasser lebih banyak dari seluruh kapasitas itu.”
Tempat untuk Anak-anak Menunggu Ajal
Menurut laporan yang sama, kondisi ini bahkan bukan yang terburuk. Di hari-hari tertentu, tim medis di Rumah Sakit Nasser bisa melakukan hingga 100 operasi dalam sehari—angka yang melebihi kapasitas rumah sakit mana pun di dunia.
Pasien diklasifikasi dengan warna: hijau untuk luka ringan, kuning untuk kondisi gawat, merah untuk penanganan segera, dan hitam bagi yang langsung dikirim ke kamar jenazah. Namun bagi anak-anak, tak ada tanda hitam.
“Mereka langsung dibawa ke area khusus tempat mereka menunggu ajal, ditemani keluarga yang terus berdoa,” kata Sidhwa.
Dia menyadari risikonya berada di Gaza. Kepada relawan medis lainnya, Sidhwa selalu memberi peringatan: “Ini tempat paling ganas yang pernah saya kunjungi. Bahkan mungkin yang paling ganas dalam 60 tahun terakhir.”
Setelah rumah sakit Nasser diserang, ia sempat ditelepon staf Kedutaan AS di Israel. Ia bertanya, “Bisakah Anda meminta Israel berhenti membom rumah sakit ini?”
Jawabannya: “Itu bukan wewenang kami.”
Yang paling menyakitkan baginya bukanlah penderitaan yang ia saksikan, tetapi beban moral sebagai warga negara AS.
“Ini bukan hanya serangan Israel. Ini juga serangan Amerika-Israel. Apakah uang pajak saya yang menyebabkan pecahan bom bersarang di otak anak ini? Atau uang dari tetangga saya?”
Meski demikian, Sidhwa merasa pengabdiannya menyembuhkan anak-anak Palestina menjadi semacam “pengisi ulang baterai moralnya.”
Dia menduga kehadiran dokter asing di rumah sakit bisa jadi semacam pelindung. “Mungkin kalau saya tak ada, mereka sudah jatuhkan bom 2000 pon ke rumah sakit ini. Tapi membunuh orang asing akan jadi masalah besar.”
Sumber: Pers Israel / +972 Magazine