“Saya Dokter yang Lapar, dan Keluarga Saya Juga Lapar” Inilah kalimat yang diucapkan Dr. Hussein Abu Dhahi, dokter anak di Gaza, sambil memeriksa balita kurus akibat malnutrisi di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, Deir al-Balah. Kalimat yang menggambarkan kenyataan paling brutal di Gaza hari ini: dokter-dokter kelaparan tengah berjuang menyelamatkan nyawa pasien yang juga kelaparan.
Bayangkan seorang dokter pingsan di ruang operasi. Bayangkan perawat jatuh tak sadarkan diri saat memasang infus untuk anak-anak yang tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Itulah keseharian para tenaga medis di Gaza. Mereka bukan hanya menyaksikan krisis gizi, mereka hidup di dalamnya. Di bawah pengepungan yang melumpuhkan dan blokade yang membunuh, rumah sakit penuh sesak oleh ribuan warga yang kelaparan, bukan hanya anak-anak dan lansia, tapi juga ibu menyusui, remaja, bahkan para dokter sendiri.
Sejak diberlakukannya pembatasan bantuan kemanusiaan pada 2 Maret lalu, pasokan makanan di rumah sakit pun berhenti. Dr. Abu Dhahi bertugas hingga 36 jam dengan hanya beberapa sendok kecil nasi. “Apakah cukup bagi seorang dokter untuk tetap sadar dan fokus hanya dengan satu porsi kecil nasi?” tanyanya getir. Ia belum makan sejak sehari sebelumnya, hanya minum air sambil memeriksa puluhan bayi penderita anemia parah karena kelaparan.
“Dokter di Gaza bukan mesin. Kami manusia. Tapi kami dipaksa menanggung derita yang tak pernah dialami dokter mana pun di dunia,” lanjutnya.
Dr. Abu Dhahi tinggal bersama tujuh anggota keluarganya di sebuah tenda di daerah al-Mawasi, setelah mengungsi dari Rafah. Mereka tidak memiliki tepung selama berhari-hari. Ia bahkan tak punya waktu mencari makanan untuk anak-anaknya. “Beberapa dari kami bertanya dengan getir: apakah kami harus berhenti bekerja dan berdiri dalam antrean bantuan seperti rakyat lainnya?”
Kondisi ini memuncak dalam tragedi: satu per satu tenaga medis mulai tumbang. Seorang perawat rekan Dr. Abu Dhahi pingsan tiga kali saat memasang infus pada pasien anak. Ia terus bekerja meski lapar, karena keluarganya pun kelaparan. Ia memilih bertahan, menjaga nyawa anak-anak lain di saat ia sendiri nyaris roboh.
Dr. Muhammad Abu Salmiya, Direktur RS al-Shifa, menegaskan: “Kami para dokter tidak terkecuali dari perang kelaparan ini. Tak ada satu rumah pun, satu tenda pun, yang bebas dari lapar.” Menurutnya, hanya segelintir warga yang bisa makan satu kali dalam sehari, sisanya bahkan tak punya roti atau air bersih. “Setiap hari kami menyaksikan orang pingsan di jalan, di ruang tunggu rumah sakit, tubuh-tubuh yang lemas dan kehilangan keseimbangan, terhuyung karena kelaparan.”
Ancaman kematian kini mengintai bukan hanya korban luka, tapi juga pasien penyakit kronis yang membutuhkan nutrisi khusus, dan rumah sakit tak punya apa-apa lagi selain cairan infus. “Kami kehabisan tenaga, kehabisan makanan, kehabisan harapan,” ucap Abu Salmiya. “Dokter-dokter mulai jatuh di ruang operasi, pingsan karena kelelahan dan lapar. Jika ini terus berlangsung, pelayanan medis bisa runtuh kapan saja.”
Dr. Ahmad al-Farra dari RS Tahrir di Khan Younis pun mengakui: “Kami sudah sampai titik ‘burnout’. Konsentrasi menurun, daya ingat kabur, tubuh gemetar karena jam kerja panjang dan tidak ada asupan gizi.” Para dokter kini bukan hanya menyelamatkan nyawa, mereka juga sedang mempertahankan hidup mereka sendiri.