Spirit of Aqsa, Amerika Serikat- Kelompok pro-Palestina di seluruh Amerika Serikat melancarkan protes Black Friday untuk menuntut gencatan senjata permanen di Gaza, Palestina.
Kepada Newsweek, Kamis (23/11/2023), kelompok tersebut mengatakan, mereka melakukan unjuk rasa di pusat-pusat komersial, menolak berbelanja di toko-toko perusahaan besar, dan menghadiri protes virtual ketika ratusan juta orang Amerika berbondong-bondong ke toko ritel pada Jumat (Sabtu waktu Indonnesia).
Protes ini terjadi hanya beberapa jam setelah gencatan senjata sementara dimulai di Gaza.
Kelompok-kelompok kemanusiaan seperti Shut It Down 4 Palestine, Calling Up Justice, dan ANSWER Coalition melakukan boikot, unjuk rasa, dan protes lainnya untuk menyampaikan pesan kepada Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
“Kami percaya protes pada Black Friday adalah cara yang sangat penting untuk memperjelas bahwa tidak akan ada keadaan normal sampai Palestina merdeka,” kata Koordinator Media untuk Koalisi ANSWER Walter Smolarek.
Dia menambahkan, Black Friday adalah salah satu hari paling menguntungkan dalam setahun bagi perusahaan-perusahaan besar.
“Jika perusahaan-perusahaan ini tidak dapat berfungsi seperti biasanya, hal itu akan menjadi sumber tekanan lain pada pemerintahan Biden untuk mengakhiri partisipasinya dalam genosida warga Palestina,” ujar dia.
Smolarek mengatakan gencatan senjata akan membuat protes menjadi lebih signifikan. “Kami akan menuntut agar Israel dan pemerintah AS tidak memulai kembali genosida mereka di akhir masa jeda, tapi melakukan gencatan senjata permanen,” ungkapnya.
Protes Black Friday yang direncanakan bertepatan dengan saat dimana 180 juta orang berbondong-bondong ke department store dan ritel online untuk berbelanja saat liburan, menurut survei dari National Retail Federation (NRF).
NRF memperkirakan pengeluaran akan mencapai rekor tertinggi selama bulan November dan Desember dengan penjualan diproyeksikan tumbuh antara 3 persen hingga 4 persen dibandingkan 2022 menjadi antara 957,3 miliar dolar As hingga 966,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 14,8 triliun sampai Rp 15 triliun).